Kamis, 19 Juni 2008

Feminisme



“Suatu ketika aku ingin menjelaskan diriku pada diri sendiri....Dan perkara ini menohokku dengan sebuah kejutan bahwa hal pertama yang harus aku katakan adalah “Aku seorang perempuan.’” (Simone De Beauvoir)

Gerakan feminis yang mulai marak akhir-akhir ini adalah usaha perempuan membebaskan diri dari dominasi laki-laki sekaligus upaya mereka merumuskan diri sendiri.

Simone De Beauvoir adalah tokoh feminis awal yang memperjuangkan hak-hak perempuan supaya setara dengan laki-laki. Dalam bukunya “The second sex” ia menjelaskan bahwa sejarah telah berlaku tidak adil terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan ini muncul karena perempuan dilihat dari kaca mata laki-laki.

Sejak awal sejarah umat manusia, perempuan diposisikan sebagai jenis kelamin kedua. Dalam kitab suci agama samawi, dituliskan bahwa perempuan berasal dari tulang rusuknya laki-laki (Hawa berasal dari tulang rusuk Adam). Laki-laki adalah ciptaan yang asli, sedangkan perempuan adalah pelengkap. Pemahaman ini berlaku dihampir seluruh kebudayaan di dunia. Kedudukan perempuan selalu di tempatkan di posisi kedua setelah laki-laki. Lebih sadis lagi perempuan dilihat sederajat dengan hewan, budak yang tugasnya melayani dan memuaskan kebutuhan laki-laki. Budaya dominasi patriarkhi ini telah berlangsung dari abad ke abad dan telah dijadikan sebagai kebenaran universal.

Menilik para tokoh besar di zamannya, kita bisa mengetahui bahwa perempuan selalu di tempatkan di posisi terendah. Aristoteles mengatakan bahwa “Perempuan hanyalah benda, sedangkan gerakan, yang menjadi prinsip laki-laki adalah ‘lebih baik dan lebih hebat” (Beauvoir:2003) Pemikir yang diagung-agungkan pada zamannya ini masih melihat perempuan sebagai manusia yang tidak lengkap. Sama dengan benda-benda. Kemudian di abad pertengahan Thomas Aquinas juga mengatakan hal yang tidak jauh berbeda. Perempuan sebagai “laki-laki yang tidak sempurna”, makhluk “yang dicipta secara tidak sengaja”. Hal ini merupakan simbolisasi dari kitab Kejadian di mana Eva digambarkan terbuat dari tulang rusuk laki-laki, lebih tepatnya ‘sebuah tulang cadangan’ dari Adam.

Bagi mereka hanya laki-laki-lah yang sempurna, dan perempuan tidak lebih dari sekedar pelengkap yang tidak diharapkan kehadirannya. Ada pandangan (mitos) bahwa takdir perempuan memang begitu dan tidak bisa diubah lagi.Tentu saja ini suatu ketidakadilan besar bagi kaum perempuan.

Dominasi dan Subordinasi
Manusia pada dasarnya selalu memiliki hasrat untuk mendominasi. Bagi Nietzsche, bahkan keinginan untuk mengetahui adalah hasrat untuk mendominasi. Pengetahuan itu adalah power. Jika saya memiliki pengetahuan maka saya memiliki kekuatan untuk menguasai orang lain. Jika keinginan ini tercapai maka akan ada kepuasan dalam diri orang tersebut. Hal yang sama juga terjadi bagi kaum perempuan. Mereka merasakan ketidakadilan karena selalu digerogoti budaya dominasi. Perempuan disubordinasi oleh laki-laki.

Melalui mitos-mitos tradisional, laki-laki melegalkan haknya untuk mendominasi perempuan. Dalam mitos-mitos tersebut laki-laki selalu ditempatkan di kelas pertama. Perempuan adalah sesuatu yang ‘lian’ bagi laki-laki. Karena ‘lian’ maka mereka memperlakukan perempuan tidak sebagai manusia. Perempuan bukan bagian dari dunia manusia. Perempuan adalah the others.

Subordinasi terjadi pertama-tama karena ketidakberdayaan perempuan secara fisik. Dalam bidang ekonomi perempuan umumnya tergantung pada laki-laki. Ketergantungan ini menjadi bencana bagi kaum perempuan. Mereka dianggap tidak mandiri. Situasi ini membuka kesempatan bagi kaum laki-laki memperlakukan mereka secara sewenang-wenang. Pemahaman tradisional yang menganggap perempuan itu lemah adalah hal lain yang membuka kesempatan kearah subordinasi.

Budaya dominasi dan subordinasi merupakan tekanan yang berat atas kebebasan perempuan. Menguaknya suara feminis disebabkan ketidakadilan gender ini sudah berada di luar rasa kemanusiaan. Kekerasan dalam rumah tangga, penjualbelian perempuan dan penyingkiran perempuan dari tempat-tempat strategis dalam dunia politik menegaskan posisi perempuan sebagai “the second sex”. Laki-laki adalah subjek dan perempuan adalah objek. Sebagai subjek, laki-laki memiliki kekuatan untuk menentukan objek.

Perspektif feminis
Bagi Luce Irigaray yang seharusnya dilakukan oleh kaum feminis adalah membangun budaya perempuan-laki-laki yang saling menghargai. Caranya dengan memberikan kembali nilai-nilai budaya pada seksualitas perempuan. “Menuntut kesetaraan, sebagai perempuan, bagiku terasa seperti ungkapan yang menyimpang dari tujuan riil. Menuntut kesetaraan berarti ada unsur pembanding. Dengan siapa atau dengan apa perempuan ingin setara? Dengan laki-laki?... Dengan ukuran baku? Mengapa tidak dengan dirinya sendiri?” (Luce Irigaray: 2005).

Pemikir raksasa feminis ini membangunkan kita kembali pada kesadaran baru. Baginya tidak perlu mempersalahkan siapa-siapa. Dalam konteks ini Irigaray tidak sependapat dengan Beauvoir yang selalu menuntut kebebasan dari laki-laki. Tidak mengkambing-hitamkan laki-laki, sebab hal ini tidak menyelesaikan masalah yang sesungguhnya. Yang seharusnya diperjuangkan adalah bagaimana perempuan menjadi dirinya sendiri. Menuntut diri sendiri menjadi perempuan yang mandiri dan berpotensi. Perempuan seharusnya menggunakan seluruh kemampuan dan kreativitasnya untuk maju dan berkembang. Merintis budaya baru dan memberi nilai baru pada diri mereka sendiri. Dan berbicara atas dirinya sendiri.

Perempuan harus berjuang menciptakan kembali riwayatnya, baik riwayat individual maupun kolektif. Agar usaha ini dapat berkembang, setiap individu hendaknya memberikan penghormatan pada dimensi tubuh setiap jenis kelamin. Tindakan ini penting. Agar setiap orang mengetahui tugas dan kewajibannya serta hak-haknya sehingga dalam setiap pengambilan keputusan dan tindakan nilai-nilai ini menjadi pertimbangan.

Sudah tidak relevan lagi jika perempuan menuntut kesetaraan dari laki-laki. Yang dilakukan adalah membangun identitas diri lewat tindakan proaktif dalam dunia yang riil. Membangun cara pandang baru dalam menentukan identitasnya. Bagaimanapun laki-laki dan perempuan tetap berbeda, tapi bagimana kedua jenis kelamin ini belajar untuk berbeda. Menghargai perbedaan dalam rangka menumbuhkan keunikan masing-masing. Justru perbedaanlah yang membuat kita saling mengenal dan melengkapi.

Noverius Laoli