Minggu, 21 Desember 2008

Mengapa Manusia Mencari Tuhan

Noverius Laoli

Di zaman mutakhir ini, masih saja ada orang yang mencari Tuhan, meskipun hidup dalam hirupikuk kemajuan teknologi yang super-canggih. Ternyata manusia zaman ini masih membuka ruang hatinya untuk kehadiran Tuhan. Hanya saja paham tentang Tuhan dan cara memahaminya berbeda. Bila di abad silam Tuhan dicari di tempat-tempat sakral (Sinagoga, Gereja, Mesjid dan kuil-kuil), zaman sekarang, Tuhan dicari melalui kecanggihan alat tekonologi. Para astronot menembus ruang angkasa, dan mengagumi begitu indahnya alam semesta ini dan sekaligus mempertanyakan kembali keberadaan Tuhan itu. Akan tetapi, sebaliknya di abad 20-21 ini, kebangkitan agama-agama mulai menyeruak di segala penjuru. Justru disaat Tuhan kembali dipertanyakan, disaat itulah manusia mulai merindukan-Nya.

God Spot
Akhir-akhir ini, kita melihat sebuah tendensi zaman untuk kembali menghidupkan agama yang sempat terpuruk pada abad modern (17-19), zaman kejayaan sains. Di berbagai belahan dunia semakin marak aktivitas-aktivitas religius. Begitu banyak dana dan waktu dihabiskan untuk aktivitas-aktivitas keagamaan. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa masih banyak orang mencari Tuhan?

Hal yang paling fenomenal di dunia sains saat ini adalah munculnya berbagai penelitian tentang masalah spiritual. Misalnya buku “Kecerdasan Spiritual” Karangan Danah Zohar dan Ian Marshall. Dalam penelitian ini, mereka melihat bahwa sejak zaman purbakala, di setiap kebudayaan, selalu ada tendensi untuk ingin berkomunikasi langsung dengan Tuhan atau dewa. Pola budaya seperti ini terjadi hampir di seluruh dunia hingga saat ini. Pada awal tahun 1990-an Michael Persinger, neurolog-psikolog asal Kanada, mengalami kehadiran Tuhan untuk pertama kalinya.

Dr. Persinger menghubungkan kepalanya dengan stimulator magnet “transendental”, suatu piranti yang mengeluarkan medan magnetik yang kuat dan berubah-ubah dengan cepat di area kecil jaringan otak. Jika piranti ini digunakan untuk merangsang berbagai area di korteks motorik otak, otot-otot tertentu akan berkedut atau anggota badan akan bergerak sendiri. Jika arena korteks visual dirangsang, orang buta sejak lahirpun dapat “melihat”. Dalam percobaan Dr. Persinger ini, piranti itu dirancang untuk merangsang jaringan lobus temporal, bagian otak yang berada tepat di bawah pelipis. Dan dia melihat “Tuhan.”[1]

Penelitian Dr. Persinger ini menemukan bahwa ada satu jaringan dalam otak manusia jika diransang akan menghasilkan pengalaman akan Tuhan.[2] Lobus Temporal ini yang ada dalam otak manusia selalu berkaitan dengan pengalaman religius atau spiritual. Maka bagian lobus temporal ini disebut sebagai “Titik Tuhan” (God Spot) atau “Modul Tuhan” (God Module). God Spot inilah yang selalu merindukan Tuhan, dan merindukan dunia yang penuh makna dan kepenuhan spiritual. Kiranya di sanalah ada arti dan makna hidup yang sesungguhnya. Dan makna hidup itu hanya dapat ditemukan dalam kesatuan dengan yang ilahi.


Hubungan Badan-Jiwa
Dalam pemahaman St. Agustinus, hubungan badan-jiwa adalah sebuah misteri besar yang tak dapat dipahami, “Hubungan jiwa dan badan itu begitu mengherankan, sehingga manusia tidak dapat memahaminya. Padahal ia sendiri terdiri atas hubungan tersebut”.[3] Misteri hubungan jiwa-badan ini membuat manusia mencari apa yang menyebabkan itu terjadi. Manusia mengalami keterbatasan dalam memaknai dan memahami siapa dirinya yang sejati. Dalam refleksi ini, Agustinus menekankan bahwa jiwa yang berakal budi yang menyadari eksistensinya dalam kesatuan dengan badan adalah suatu substansi rohani atau spiritual. Meskipun hubungan badan-jiwa tak terpahami, namun tak bisa juga ditolak keterhubungan dan kesatuan keduanya. Kesatuan badan-jiwa menjadi sebuah substansi yang menggerakkan manusia untuk mencari kepenuhan dalam Allah.

Sangat tepat bila dalam kesadaran ini Agustinus berkata: “Hati kami diciptakan bagiMu ya Allah, dan tidak akan damai sampai beristirahat padaMu”[4] Ungkapan ini melukiskan kerinduan yang tak terbendung dalam diri manusia untuk kembali bersatu dengan Allah. Artinya dalam diri manusia yang terdiri badan-jiwa ini, ada suatu kekuatan yang selalu mendorong untuk mencari Tuhan. Dalam konteks ini, Tuhan itu dipahami sebagai sumber makna dan kegelisahan hidup. Dalam Tuhan ada ketentraman dan kepenuhan hidup yang sesungguhnya. Ternyata apa yang dialami di dunia ini, dengan segala kemegahan dan kemewahannya tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia seluruhnya.

Kekuatan Intuisi
Secara etimologi, intuisi berarti intuire-intuitus yakni memandang dan tuire berarti melihat. Maka intuisi berarti memandang/melihat ke dalam. Menurut Aristoteles intuisi adalah “as the mental acts by which, the premises of all knowledge are revealed”[5] Artinya bahwa pengetahun intuisi itu merupakan dasar dari semua pengetahuan indrawi. Sebagai dasar pengetahuan, intuisi mampu menangkap hal-hal di luar pengalaman real. Sifat intuisi adalah menangkap suatu tindakan yang berasal dari kesadaran spontan, bahkan tanpa pertimbangan nalar.

Pendapat Aristoteles ini juga senada dengan Pascal, seorang filsuf dan ilmuwan kristiani sekaligus seorang yang religius. Ia menggambarkan pengalaman religiusnya dalam istilah logika hati (heart reasons). Logika hati itu istilah lain dari intusi. Bagi Pascal hati/intuisi itu memiliki logikanya sendiri, yang tidak diketahui oleh nalar sedikitpun; “The heart has its reasons of which reason knows nothing”[6]. Hati itulah yang memberi ruang akan kehadiran Tuhan dalam diri manusia. Tuhan yang diimani itu pertama sekali datang lewat hati dan bukan lewat nalar, God perceived by the heart, not by the reason.[7]

Logika hati atau intuisi itu langsung berasal dari Allah. Allah hadir dalam hari manusia, sehingga manusia selalu merindukanNya. Pengalaman kehadiran Tuhan ini bersifat tiba-tiba. Manusia seperti mengalami sebuah peristiwa disergap oleh Allah. Maka secara tiba-tiba mengalami pengalaman yang ilahi/transendental, sebagaimana pernah dialami para mistikus besar dalam gereja dan agama-agama lain. Melalui pengalaman transenden itulah manusia menemukan makna dan arti hidupnya. Kerinduan dan kehausan akan makna hidup terpenuhi hanya dalam kesatuan dengan Allah. Pengalaman mistik F.C. Happold misalnya, ia melukiskan pengalaman itu terjadi dalam ruangan pribadinya. Ia merasakan adanya kehadiran, yang dengan cara aneh berada di sekitar dan sekaligus di dalam dirinya. Seperti cahaya atau kehangatan. “Dan saya terlingkupi oleh seseorang yang bukan diri saya, tetapi saya merasa semakin menjadi diri saya sendiri daripada sebelumnya. Saya dipenuhi kebahagiaan yang intens, dan seperti kesenangan yang tak tertahankan, yang sulit dilukiskan dengan kata-kata….”

Pengalaman Happold ini adalah contoh pengalaman mistik yang dialami secara nyata. Di dalam pengalaman tersebut, tidak ada lagi ketakutan, kekosongan maupun kekhawatiran, yang ada hanyalah ketenangan dan kebahagiaan, di mana pengalaman itu mengatasi segala yang ada. Bahkan pengalaman akan Tuhan itu tidak dapat dijelaskan secara verbal. Sifat pengalaman akan Tuhan itu melebihi atau mengatasi nalar manusia.

Kesimpulan
Berdasarkan bukti dari sains dan para filsuf, teolog, ahli psikologi yang pernah mengalami kekosongan dan pada akhirnya merindukan Tuhan. Maka dapat dimengerti mengapa manusia mencari Tuhan. Manusia adalah makhluk material dan spiritual sekaligus. Dan di dalamnya ada ruang yang selalu merindukan persatuan dan kehadiran yang tak terbatas. Sehingga berbagai cara ditempuh untuk menemukan sang Misteri dan transenden itu. Bahkan cara-cara irasional sekalipun ditempuh untuk menjawab kehausan jiwa yang merindukan kehadiran Allah. Di dalamNya-lah ada sumber makna dan ketenangan hidup.
[1] Danah Zohar dkk, Kecerdasan Spiritual, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 80
[2] Tuhan dalam konteks ini diberi tanda petik artinya, sebuah peristwa yang terasa begitu damai yang tak pernah dialami sebelumnya. Di mana rasanya manusia mengalami kepenuhan hidupnya dan ia tidak membutuhkan apa-apa lagi.
[3] Jacques Veuger MSF, Hubungan Jiwa-Badan menurut St. Agustinus, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 27
[4] Thomas P. Rausch, Katolisisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 131
[5] Bernard S. Cayne (editor), Encyclopedia Americana, (USA: Americana Corporation)
[6] Pascal, Penêes, (London, Penguin Group, 1966), hlm. 27
[7] Ibid.,

Budaya Nias, Asal Usul dan Kematian

Noverius Laoli
========================================================================

I. Latar belakang
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias.[1] Orang Nias menyebut diri mereka sebagai Ono Niha (anak manusia). Kemudian pulau Nias disebut sebagai Tanő Niha (tanah manusia). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam hukum adat dan kebudayaan yang sangat kental. Hukum adat Nias secara umum disebut fodrakő yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Jauh sebelumnya, masyarakat Nias primitif hidup dalam budaya megalitik. Hal ini terlihat dari peninggalan sejarah seperti artefak-artefak yang masih ditemukan di banyak wilayah pedalaman pulau Nias sampai sekarang ini.

Masyarakat Nias juga mengenal sistem kasta. Ada dua belas tingkatan kasta. Dari tingkatan kasta yang ada, yang tertinggi adalah “Balugu”. Untuk mencapai tingkatan ini, seseorang harus mampu mengadakan pesta besar selama berhari-hari dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ratusan/ekor babi. Biasanya orang-orang yang melakukan ini adalah mereka yang memiliki harta dan emas.

a). Mitologi:
Menurut masyarakat Nias, dalam sebuah mitos, orang Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora’a yang terletak disebuah tempat yang bernama Tetehőli ana’a. Mitologi Nias ini terdapat dalam hoho[2]. Dalam hoho diceritakan bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Lowalangi[3] (Untuk selanjutnya saya lebih suka menggunakan istilah ”pencipta”) dari beberapa warna udara yang ia aduk dengan tongkat yang bernama sihai[4]. Dewa pencipta terlebih dahulu menciptakan pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora’a. Pohon ini berbuah dua butir buah yang segera dierami oleh seekor laba-laba emas. Kemudian lahirlah sepasang dewa pertama, yang dinamakan Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a berjenis kelamin laki-laki dan Burutiroangi Burutiraoana’a berjenis kelamin perempuan.[5] Keturunan mereka inilah yang kemudia dikenal sebagai dewa Sirao Uwu Zihõnõ sebagai rajanya.

Mitos asal usul masyarakat Nias pun, dimulai sejak zaman raja Sirao. Dewa ini memiliki tiga istri yang masing-masing beranak tiga putra. Di antara kesembilan putranya ini timbul pertengkaran yang sengit, yaitu mereka memperebutkan tahta Raja Sirao ayah mereka. Melihat situasi ini, Sirao mengadakan sayembara di antara putra-putranya. Intinya, siapapun yang mampu mencabut tombak (toho) yang telah dipancangkan di lapangan depan istana itulah yang berhak menggantikan-nya. Satu persatu putranya mulai dari yang tertua datang mencoba mencabut tombak tersebut. Tapi tak satupun berhasil. Kemudian anak yang paling bungsu yang bernama Luo Mĕwõna[6] (Lowalangi) datang mencabutnya dan akhirnya berhasil.

Kakak-kakaknya yang kalah dalam sayembara tersebut diasingkan dari Tetehõli ana’a, dan dibuang ke bumi, tepatnya di pulau Nias. Dari kedelapan putra Sirao yang dibuang ke dunia (Pulau Nias) hanya empat orang yang dapat sampai di empat tempat di pulau Nias dengan selamat dan akhirnya menjadi leluhur orang Nias. Ke-empat orang lainnya mengalami kecelakaan. Baewadanõ Hia karena terlalu berat, jatuh menembus bumi dan menjelma menjadi ular besar yang bernama Da’õ Zanaya Tanõ sisagõrõ[7] (dialah yang menjadi alas/fondasi seluruh bumi). Jika dia bergerak sedikit saja, maka bumi akan bergoncang dan terjadilah gempa bumi. Agar dapat hidup, naga ini diberi makan oleh burung setiap hari.
Yang lain jatuh ke dalam air dan menjadi hantu sungai, pujaan para nelayan. Dia sering disebut hadroli[8]. Ada yang terbawa angin, dan akhirnya tersangkut di pohon dan menjelma menjadi hantu hutan, pujaan para pemburu. Makluk ini sering disebut ”Bela”[9]. Ada juga yang jatuh di daerah Laraga yang kondisi tanahnya penuh batu-batu (12 Km dari Gunung Sitoli) menjadi leluhur orang-orang berilmu kebal.

b). Penelitian Arkeologi
Telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif[10] dan di Kompas,[11] Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal-usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.[12]

Marga Suku Nias: Suku Nias terdiri dari beberapa marga diantaranya : Amazihönö, Beha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, dan masih banyak lagi. Fungsi marga adalah menunjukkan garis keturunan dan asal seseorang. Termasuk mengenal famili, sejauh mana garis keturunan dan bisa tau tidak mereka menikah.


II. Religiositas Masyarakat Nias
a). Lani, Langi
Tradisi lisan Nias sering berbicara tentang langit (lani, langi), tentang lapisan langit yang satu (lani si sara wenaita), ada juga langit yang berlapis sembilan (lani si siwa wenaita) dan tentang seorang leluhur yang bernama satu langit (lani sagörö) atau langit yang satu itu (lani sisagörö). Nama ini dulu sebenarnya bukan Lowalani melainkan Lawalani artinya yang ada di atas langit. Bahasa sehari-hari di Nias Selatan sampai sekarang tetap mempertahankan kebiasaan lama dan mengatakan lawa (atas) dan bukan seperti Nias Utara yang menyebutnya yawa (atas). Pemakaian istilah Lowalangi sebenarnya dipopulerkan oleh seorang misionaris Denniger pada tahun 1865. Ia memilih kata Lowalangi sebagai nama Allah bagi pengikut ajaran Kristen di Nias. Ada kemungkinan saat itu ia belum mengetahui sebutan tradisi Lawalani di Nias Selatan. Walaupun demikian istilah ini diterima juga oleh orang Nias Selatan yaitu yang berada di atas langit.

Menurut versi Pastor Johannes M. H. Orang Nias tidak mengharapkan firdaus dalam hidup yang akan datang, tidak pula suatu neraka. Baik hukuman maupun imbalan tidak mereka harapkan. Karena orang Nias percaya, bahwa semuanya akan berakhir. Maka orang Nias tidak takut akan sesuatu dan mengharapkan sesuatu. Hanya inilah yang merupakan imbalan atau hukuman bagi orang Nias. Mereka yang sudah meninggal dipandang terhormat dan terburuk. Selain itu mereka pasrah saja pada nasib mereka dengan hati tenang.[13] Akan tetapi, versi ini diragukan kebenarannya karena pada kenyataanya orang Nias masih percaya pada arwah leluhur dan peranannya bagi kehidupan. Bisa dilihat dari patung-patung (Nadu) yang dianggap sebagai tempat roh leluhur bisa hadir. Selain itu, konsep tentang adanya dunia orang mati juga dipercaya yaitu Tetehõli ana’a.

Bagi orang Nias, setelah meninggal semuanya akan punah. Manusia yang meninggal akan menjadi makanan cacing dan lalat yang besar (ö gulö-kulö, ö deteho) seperti dinyanyikan dalam Hoho yang tertinggal hanyalah ”Nama kebesaran” (töi sebua) dan ”kemuliaan” (lakhömi). Sasaran dari pesta-pesta besar (owasa fatome) yang dirayakan di Nias pada zaman dulu adalah untuk mendapat nama yang mulai (töi so-lakhömi).[14]

b). Agama Asli Orang Nias
”Pĕlĕbĕgu adalah nama agama asli diberikan oleh pendatang yang berarti ”penyembah ruh”. Nama yang dipergunakan oleh penganutnya sendiri adalah molohĕ adu (penyembah adu). Sifat agama ini adalah berkisar pada penyembahan ruh leluhur.”[15] Meskipun tidak ada konsep kehidupan setelah kematian menurut versi Pastor Johannes M.H, tapi dalam kepercayaan ini terdapat praktik penyembahan roh-roh para leluhur (animisme). Para leluhur itu perlu dikenang, terutama atas jasa-jasa mereka (Nama Besar dan Kemuliaan). Kepercayaan ini termanisfestasi dalam bentuk adu. Orang Nias percaya bahwa patung-patung (adu) itu akan ditempati oleh roh-roh leluhur mereka, karena itu harus dirawat dengan baik.

”Menurut kepercayaan umat Pĕlĕbĕgu, tiap orang mempunyai dua macam tubuh, yaitu tubuh kasar (boto) dan tubuh halus. Tubuh halus terbagi dua, yaitu noso (nafas) dan lumõmõ-lumõ (bayangan). ”Jika orang mati botonya kembali menjadi debu, nosonya kembali pada Lowalangi (Allah). Sedangkan lumõ-lumõnya berubah menjadi bekhu (roh gentayangan)”.[16] Orang Nias percaya, selama belum ada upacara kematian, bekhu ini akan tetap berada di sekitar jenazahnya atau kuburannya. Agar bisa kembali ke Tetehõli ana’a (dunia roh), setiap roh harus menyeberangi suatu jembatan antara dunia orang hidup dan dunia orang mati. Dalam perjalanan itu, semakin roh itu berjalan, jembatannya semakin mengecil bahkan sampai sekecil rambut. Hal itu akan dialami oleh roh-roh yang banyak melakukan kejahatan selama hidupnya. Akhirnya ia akan jatuh dan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Akan tetapi, bila selama hidupnya ia baik, jembatannya tidak menyempit sehingga perjalanan mulus dan sampai ke Tetehõli ana’a.

Dalam paham agama asli ini, roh tersebut jika sudah sampai ke dunianya, akan melanjutkan kembali hidupnya seperti di dunia ini. Kalau dulu semasa hidup dia seorang raja maka di dunia seberang (Tetehõli ana’a) juga ia akan tetap menjadi raja dan yang miskin akan tetap miskin di dunia seberang nanti. Dunia Tetehõli ana’a ini keadaanya ”terbalik”. Apa yang baik di dunia ini, di sana akan jadi buruk. Maka ada kebiasan, orang-orang Nias, bila menitipkan baju dan barang-barang lainnya, semua barang itu dirusak. ”Pebedaan dunia sana dengan dunia sini hanya terletak pada keadaan ”terbalik”, yaitu jika di sini siang di sana malam demikian juga kalimiat dalam bahasa di sana adalah serba terbalik.”[17]


III. Dua Upacara Penting Dalam Upacara Kematian

a). Famalakhisisi/Fatomesa (Perjamuan terakhir)
Famalakhisisi adalah perjamuan terakhir bagi orang tua yang sudah mau meninggal. Kata lain dari famalakhisisi ini adalah La’otome’õ (kata kerja) artinya dijadikan tamu, fatomesa (kata benda), orang yang sudah mau meninggal akan diupacarkan yang disebut laotome’õ.

Tradisi budaya Nias sampai hari ini masih melakukan ritual Famalakhisisi atau fatomesa ini. Ritual ini biasanya dilakukan pada orang tua yang sudah sakit-sakitan dan mau meninggal.

Famalakhisi (Perjamuan terakhir kali) diadakan bagi ayah yang sudah hampir tiba ajalnya oleh para putranya, setelah ia memberkati serta memberi doa restu kepada mereka. Pada kesempatan ini si ayah dihidangkan daging babi. Upacara ini harus dihadiri oleh putra-putranya terutama yang sulung, karena tanpa berkah doa restu ayahnya, kehidupan anak tersebut akan mengalami banyak rintangan.[18]

Peranan anak laki-laki khususnya anak sulung sangat penting. Anak sulung dipandang sebagi pengganti Ayah dan menjadi pemimpin bagi saudara-saudaranya yang lain. Meskipun peranan anak perempuan tidak begitu ditekankan, tapi mereka wajib datang dan membayar utang mereka sama seperti saudaranya laki-laki.

Di saat-saat terakhir seperti ini, semua anak dan cucunya datang mengunjunginya. Kedatangan mereka pertama-tama adalah untuk memberikan penghormatan terakhir pada orang tua. Orangtua dalam perspektif orang Nias adalah Tuhan di dunia. Sebagai Tuhan yang tampak harus dihormati dan disembah. Maka berkat orang tua, khususnya saat akhir hidupnya diyakini sangat menentukan hidup mereka dikemudian hari.

Tujuan utama Famalakhisi atau fatomesa ini adalah mendapat berkat (howu-howu) dari Orangtua yang hendak meninggal. Sebaliknya kalau ritual ini tidak dihadiri (dengan sengaja) oleh salah seorang anaknya, diyakini bahwa dia akan menjadi anak yang durhaka (tefuyu) dan akan hidup dalam ketidakcukupan atau tidak mendapat rejeki dalam hidupnya (ha sifangarö-ngarö ba kaudinga). Maka momen fatomesa ini adalah peristiwa yang sangat berharga. Hal itu menandakan bahwa mereka adalah anak yang selalu tunduk dan turut pada orang tua (ono salulu-lulu khö jatua nia). Karena ketaatan pada orang tua tersebut, mereka akan mendapat berkat darinya dan hidupnya akan lebih baik.

Dalam acara Famalakhisi atau fatomesa ini, anak-anak dan cucu-cucu dari orang tua yang hendak meninggal akan memestakannya dan makan bersama sebagai tanda penhormatan terhadap orang tua atau kakek mereka. (Dan) Seandainya, kalau ia meninggal, ia pergi dalam keadaan kenyang dan bahagia karena dikelilingi anak-anaknya.
Berdasarkan pengalaman, di Lahõmi (kampung saya), ketika seseorang sudah sakit parah, semua anggota keluarga kumpul , bahkan dari kampung-kampung lain dan memberi makan (mame'e õ) si sakit. Tentu saja menyembelih anak babi. Setelah berdoa, lalu si sakit diberi makan oleh anggota keluarga, mulai dari yang tertua. Ini suatu kepercayaan (pesan tersirat) bahwa kita masih berharap Anda (si sakit) masih tetap kuat dan bertahan, namun seandainya kamu harus pergi, kami tidak terlalu menyesal karena kamu pergi dengan kenyang. Kami sudah melayani dengan baik sehingga seandainya engkau pergi meninggalkan kami, kamu tidak perlu mencari kami atau mengganggu kami lagi. (Ingat: orang Nias percaya pada "bekhu." (setan) Nah, bekhu ini dalam kepercayaan orang Nias, bisa mengganggu orang yang masih hidup).[19]

3. Fanõrõ satua dan Fangasi
Fanõrõ satua adalah upacara pemakaman kedua dari yang wafat. Upacara ini bermaksud untuk ”mengantarkan” rohnya ke alam baka (Tetehõli ana’a)”[20]. Upacara-upacara ini bersifat potlatch yaitu unsur memamerkan kekayaan agar menaikkan gengsi keluarga dan terpandang di masyarakat. Sebab bagi orang Nias yang paling penting dalam hidup adalah Lakhõmi (Kemuliaan) atau Tõi (Nama) keluarga. Biasanya dalam upacara-upacara ini, keluarga orang yang telah meninggal akan mengadakan pesta besar-besaran. Dalam upacara ini, mereka memamerkan kekayaan dengan memotong babi ratusan ekor dan membagikan kepada sanak keluarga, kerabat dan orang sekampung bahkan dengan kampung tetangga. Namun upacara ini tidaklah bersifat wajib. Hanya bagi orang-orang tertentu saja yang memiliki harta dan uang.

Sinonim dari fanõrõ satua adalah fangasi. Bagi orang yang meninggal, harus ada fangasi terjemahan harfiahnya adalah penebusan (redemption). Tapi fangasi bisa juga disebut fangasiwai artinya penyelesaian. Maka fangasi ini bisa dikatakan lebih menekankan pada penyelesaian upacara bagi orang yang telah meninggal.
Dalam perspektif orang Nias fangasi tidak sekedar penebusan orang yang sudah meninggal melainkan sebuah perayaan dan penghormatan sekaligus pengenangan. Selain itu, juga saat melunasi hutang-hutangnya jika masih ada. Fangasi ini adalah semacam pesta bagi orang yang masih hidup sebagai tanda bahwa mereka sudah merelakan kepergian almarhum. Pesta ini biasanya diadakan empat hari setelah yang meninggal dikuburkan. Ritual ini dikenal sebagai fananő bunga (menanam bunga) di pusara yang sudah meninggal.

Ritual yang pertama sekali diadakan adalah pada pagi hari keluarga beserta kenalan dekat datang ke kuburan dan menanam bunga, dan kemudian berdoa. Setelah kembali dari kuburan, mereka akan memotong babi dan makan bersama sebagai upaya mengenang yang sudah meninggal inilah yang disebut fangasi. Di sini tidak terlihat lagi tangisan dan kesedihan, upacara ini adalah tindakan memestakan orang yang sudah meninggal. Upacara ini juga disebut sebagai penghormatan karena melalui upacara ini dia diakui eksistensinya bahwa ia pernah hidup dengan mereka, dan sekarang almarhum telah pergi (mofanő/ irői gulidanő) dari dunia fana ini. Dalam pesta ini, semua kerabat dan warga sekampung diundang.

Orang Nias percaya bahwa yang meninggal itu akan menyadari bahwa ia telah meninggal setelah empat hari. Jadi saat seseorang meninggal sampai empat hari, ia masih belum bangun, meskipun diyakini bahwa rohnya masih berada di sekitar rumah.[21] Saat pertama sekali meninggal, almarhum masih hidup di alam mimpi saja. Tetapi setelah empat hari, almarhum akan bangun dan di situlah ia menyadari kalau ia sudah meninggal. Maka di sana akan terdapat ratapan dan tangisan.

Pertama sekali yang dia lakukan adalah kembali ke rumah. Pada saat jam enam sore/atau menjelang magrip, di mana suasana sudah mulai gelap, arwahnya akan masuk ke rumah lewat pintu dapur dan langsung menuju kamarnya, kemudian mengambil barang-barang miliknya, meskipun yang[22] dia ambil hanyalah bayangan saja (lumő-lumő). Kepercayaan ini, benar-benar bisa dibuktikan. Biasanya di pintu belakang rumah akan ditaburkan abu dan besok pagi akan terlihat bekas kaki almarhum di situ. Bukti itu adalah tanda bahwa almarhum sudah mengunjungi rumah.

Namun, biasanya pada hari keempat juga ada ritual bagi orang yang telah meninggal. Acara ini sangat khusus, hanya dihadiri keluarga dekat saja, bahkan hanya keluarga sendiri. Mereka (arwah) dipanggil ke rumah untuk jamuan makan terakhir. Tapi ritual ini hanya dilakukan sebagian orang Nias saja, seperti dikatakan oleh Pastor Ote OSC:

Satu ritus khusus setelah kematian di Nias adalah doa setelah 4 hari kematian. Saya lupa istilahnya. Intinya, arwah orang meninggal diundang dan diberi makan untuk terakhir kalinya. Ada kepercayaan bahwa selama 4 hari setelah meninggal arwah masih ada di dalam atau di sekitar rumah. Ritus yang saya tahu adalah pada saat petang, ogõmi-gõmi mai'fu seseorang pergi ke kubur lalu memukul permukaan makam, seolah-olah mengetok pintu untuk mengundang arwah si mati untuk datang ke rumah dan ikut acara. Nah, mulai saat itu, tidak boleh ada orang yang ada di tengah jalan, apalagi berada di pintu karena bisa kesambet (tesafo). Dia (arwah) akan dijamu secara khusus dengan menyembelih babi dan sedapat mungkin sudah membereskan fangasi.

Setelah empat hari, diyakini bahwa arwah itu sudah siap meninggalkan segala sesuatu yang ada dunia ini dan pulang kepada Tuhan (Lowalangi). Dalam acara hari keempat ini, diadakan perpisahan dengan almarhum. Dunia almarhum telah berbeda, yaitu di alam baka sana. Maka dimohon agar almarhum tidak lagi mengingat apa yang tertinggal di belakang sebab itu bukan miliknya lagi. Itu adalah milik orang yang masih hidup. Diharapkan juga supaya orang yang sudah meninggal itu, bisa tenang di alam sana. Tidak lagi terikat dengan apa yang ada di dunia ini. Termasuk tidak bisa menyayangi dan mencintai yang ada di dunia. Karena menyayangi itu sama dengan menarik orang yang masih hidup ke alam kematian.

Orang Nias percaya bahwa ”cinta” orang yang sudah meninggal itu tidak dibutuhkan lagi, sebab kasih sayang mereka itu menimbulkan maut bagi yang masih hidup.[23] Orang yang sudah meninggal menyayangi dengan mengambil apa yang mereka sayangi. Artinya membuat yang dia sayangi itu meninggal. Hal ini juga dibenarkan oleh Pastor Ote.
Dalam upacara itu, orangtua dalam keluarga itu akan mengadakan/mengucapkan berbagai batasan dan aturan. Misalnya, "Saudara (yang sudah mati) duniamu dan dunia kami sekarang berbeda. Tenang dan bahagialah di tempatmu yang baru dan jangan terlibat lagi dalam segala urusan keluarga yang masih hidup. Kami sanggup mengatasi segala keperluan keluarga. Kalau kamu dulu senang sama anak-anak dan suka menggendong dan memeluk mereka, maka sekarang karena dunia kita berbeda, jangan lagi lakukan hal demikian karena Lowalangi akan menghukum engkau. Engkau tidak punya hak lagi. Tugasmu adalah mendoakan anak-anak itu supaya mereka terpelihara dan baik. Jangan kembali lagi ke rumah ini karena sudah ada rumahmu yang baru…..(dan beberapa ungkapan lain)." Setelah 4 hari, diyakini bahwa arwah sudah tidak berada di rumah lagi. Setahu saya tidak ada lagi upacara untuk si mati, kecuali kalau fangasi tadi belum dibereskan.
Acara pada hari keempat ini adalah acara terakhir bagi orang yang sudah meninggal. Tidak ada lagi acara-acara resmi lainnya untuk mengenang dan mendoakan arwah tersebut.

Penutup
Dunia setelah kematian bagi orang Nias terbagi dalam dua perspektif. Pendapat pertama berpendapat bahwa setelah meninggal seseorang akan menjadi abu, makanan cacing, dan tidak ada lagi harapan untuk kehidpan selanjutnya. Kedua, setelah meninggal seeorang tetap melanjutkan hidup di dunia lain yaitu Tetehõli ana’a. Maka dibuatlah adu untuk dapat mengenang mereka, dan diyakini mereka akan masuk ke dalam patung-patung itu.

Untuk mencari sintesis di antara dua padangan yang berbeda ini, perlu kita mengetahui apa itu manusia dan terdiri dari apakah manusia itu dalam perspektif Nias. Manusia terdiri dari boto (tubuh), noso (nafas/nyawa) dan Lumõ-lumõ (roh/bayang-bayang). Pada saat meninggal noso akan kembali kepada pencipta, sementara boto akan kembali ke tanah dan jadi debu. Lumõ-lumõ akan kembali ke dunia roh (Tetehõli ana’a). Di sini semakin jelas bahwa, boto sajalah yang akan musnah dan menjadi makanan cacing, sementara lumõ-lumõ akan melanjutkan hidup di alam baka. Maka ada jurang pemisah antara dunia arwah dengan dunia manusia.

Mereka yang telah meninggal tidak bisa menyeberang jurang tersebut. Di sanalah arwah yang sudah meninggal tinggal sampai selamanya. Hubungan dengan mereka tidak ada lagi. Yang tinggal hanya Tõi nama, dan Lakõmi (kemuliaan). Yang dapat dikenang dan menjadi kebanggaan bagi generasinya, bila nama yang dia tinggalkan harum dan besar. Demikian juga berlaku sebaliknya.

Daftar Pustaka
Harmmerte, Pastor Johannes M. OFMCap. 1999. Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Intepretasi. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias
Koentjaraningrat, Prof. Dr. 1976. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
http:// www. Tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2006/11/25/brk,20061125- 88428 Sabtu 25 November 2006
htt://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/04/humaniora/3002327.htm
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia Indonesia
[1] Ada banyak kelompok masyarakat yang hidup di Nias, dan tidak semua disebut orang Nias karena tidak semua keturunan leluhur Nias asli. Mereka bisa digolongkan sebagai pendatang yang telah lama hidup di Nias sampai beberapa generasi. Contoh, orang-orang cina, aceh, mentawai dsb.
[2] Hoho adalah syair yang ditembangkan. Syair ini masih dinyanyikan dalam pesta-pesta adat, juga oleh mereka yang sudah beragama Nasrai, bdk: Prof. Dr. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1976), hlm. 51
[3] Lowalangi adalah nama yang terlanjur dipopulerkan sebagai dewa pencipta/Allah oleh misionaris Kristen Denniger padahal dewa tertinggi dalam mitologi Nias adalah Sihai.
[4] Sumber ini masih bisa diragunkan karena Sihai adalah nama dewa maha pencipta manamungkin dijadikan tongkat lowalangi. Ibid.,
[5] Ibid.,
[6] Lowalangi ini sebenarnya anak dari raja Sirao yang bungsu, dialah yang berhasil memenangi sayembara perebutan tahta ayah mereka.
[7] Nama lainnya adalah Latura danõ
[8] Makluk yang menghuni air, khususnya yang dalam dan angker, bisa membunuh orang
[9] Bela ini, seperti manusia, hanya saja seluruh tubuhnya putih seperti kapas, baik itu rambut dan sebagainya. Bela ini sebagai penguasa hutan dan pemilik seluruh binatang di hutan. Bila berburu harus berdoa dan minta kepada Bela yang empunya.
[10] Tempointeraktif, (http:// www. Tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2006/11/25/brk,20061125-88428 Sabtu 25 November 2006
[11] htt://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/04/humaniora/3002327.htm
[12] Sumber dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia Indonesia
[13] Bandingkan: Pastor Johannes Maria Harmmerte, OFMCap, Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Intepretasi, (Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias, 1999), hlm. 201
[14] Ibid.,
[15] Koentjaraningrat Op. Cit., hlm. 50
[16] Koentjaraningrat, Op.Cit., hlm. 50
[17] Ibid., hlm. 51
[18] Ibid., hlm. 47
[19] Sumber dari Pastor Ote OSC
[20] Koentjaraningrat, Op.Cit., hlm. 48
[21] Sebab dalam mitologinya, orang Nias percaya bahwa roh orang meninggal, masih berada di sekitar rumah sebelum dia didoakan atau diupacarakan.
[22] Pernyataan ini hanyalah sekedar keyakinan yang tidak bisa dipertanggungjwabkan kebenarannya.
[23] Bahkan bayang-bayang orang yang telah meninggal tidak bisa mengenai orang yang masih hidup karena bisa sakit. Maka pemutusan hubungan secara total bagi arwah itu adalah mutlak hukumnya.