Minggu, 21 Desember 2008

Mengapa Manusia Mencari Tuhan

Noverius Laoli

Di zaman mutakhir ini, masih saja ada orang yang mencari Tuhan, meskipun hidup dalam hirupikuk kemajuan teknologi yang super-canggih. Ternyata manusia zaman ini masih membuka ruang hatinya untuk kehadiran Tuhan. Hanya saja paham tentang Tuhan dan cara memahaminya berbeda. Bila di abad silam Tuhan dicari di tempat-tempat sakral (Sinagoga, Gereja, Mesjid dan kuil-kuil), zaman sekarang, Tuhan dicari melalui kecanggihan alat tekonologi. Para astronot menembus ruang angkasa, dan mengagumi begitu indahnya alam semesta ini dan sekaligus mempertanyakan kembali keberadaan Tuhan itu. Akan tetapi, sebaliknya di abad 20-21 ini, kebangkitan agama-agama mulai menyeruak di segala penjuru. Justru disaat Tuhan kembali dipertanyakan, disaat itulah manusia mulai merindukan-Nya.

God Spot
Akhir-akhir ini, kita melihat sebuah tendensi zaman untuk kembali menghidupkan agama yang sempat terpuruk pada abad modern (17-19), zaman kejayaan sains. Di berbagai belahan dunia semakin marak aktivitas-aktivitas religius. Begitu banyak dana dan waktu dihabiskan untuk aktivitas-aktivitas keagamaan. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa masih banyak orang mencari Tuhan?

Hal yang paling fenomenal di dunia sains saat ini adalah munculnya berbagai penelitian tentang masalah spiritual. Misalnya buku “Kecerdasan Spiritual” Karangan Danah Zohar dan Ian Marshall. Dalam penelitian ini, mereka melihat bahwa sejak zaman purbakala, di setiap kebudayaan, selalu ada tendensi untuk ingin berkomunikasi langsung dengan Tuhan atau dewa. Pola budaya seperti ini terjadi hampir di seluruh dunia hingga saat ini. Pada awal tahun 1990-an Michael Persinger, neurolog-psikolog asal Kanada, mengalami kehadiran Tuhan untuk pertama kalinya.

Dr. Persinger menghubungkan kepalanya dengan stimulator magnet “transendental”, suatu piranti yang mengeluarkan medan magnetik yang kuat dan berubah-ubah dengan cepat di area kecil jaringan otak. Jika piranti ini digunakan untuk merangsang berbagai area di korteks motorik otak, otot-otot tertentu akan berkedut atau anggota badan akan bergerak sendiri. Jika arena korteks visual dirangsang, orang buta sejak lahirpun dapat “melihat”. Dalam percobaan Dr. Persinger ini, piranti itu dirancang untuk merangsang jaringan lobus temporal, bagian otak yang berada tepat di bawah pelipis. Dan dia melihat “Tuhan.”[1]

Penelitian Dr. Persinger ini menemukan bahwa ada satu jaringan dalam otak manusia jika diransang akan menghasilkan pengalaman akan Tuhan.[2] Lobus Temporal ini yang ada dalam otak manusia selalu berkaitan dengan pengalaman religius atau spiritual. Maka bagian lobus temporal ini disebut sebagai “Titik Tuhan” (God Spot) atau “Modul Tuhan” (God Module). God Spot inilah yang selalu merindukan Tuhan, dan merindukan dunia yang penuh makna dan kepenuhan spiritual. Kiranya di sanalah ada arti dan makna hidup yang sesungguhnya. Dan makna hidup itu hanya dapat ditemukan dalam kesatuan dengan yang ilahi.


Hubungan Badan-Jiwa
Dalam pemahaman St. Agustinus, hubungan badan-jiwa adalah sebuah misteri besar yang tak dapat dipahami, “Hubungan jiwa dan badan itu begitu mengherankan, sehingga manusia tidak dapat memahaminya. Padahal ia sendiri terdiri atas hubungan tersebut”.[3] Misteri hubungan jiwa-badan ini membuat manusia mencari apa yang menyebabkan itu terjadi. Manusia mengalami keterbatasan dalam memaknai dan memahami siapa dirinya yang sejati. Dalam refleksi ini, Agustinus menekankan bahwa jiwa yang berakal budi yang menyadari eksistensinya dalam kesatuan dengan badan adalah suatu substansi rohani atau spiritual. Meskipun hubungan badan-jiwa tak terpahami, namun tak bisa juga ditolak keterhubungan dan kesatuan keduanya. Kesatuan badan-jiwa menjadi sebuah substansi yang menggerakkan manusia untuk mencari kepenuhan dalam Allah.

Sangat tepat bila dalam kesadaran ini Agustinus berkata: “Hati kami diciptakan bagiMu ya Allah, dan tidak akan damai sampai beristirahat padaMu”[4] Ungkapan ini melukiskan kerinduan yang tak terbendung dalam diri manusia untuk kembali bersatu dengan Allah. Artinya dalam diri manusia yang terdiri badan-jiwa ini, ada suatu kekuatan yang selalu mendorong untuk mencari Tuhan. Dalam konteks ini, Tuhan itu dipahami sebagai sumber makna dan kegelisahan hidup. Dalam Tuhan ada ketentraman dan kepenuhan hidup yang sesungguhnya. Ternyata apa yang dialami di dunia ini, dengan segala kemegahan dan kemewahannya tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia seluruhnya.

Kekuatan Intuisi
Secara etimologi, intuisi berarti intuire-intuitus yakni memandang dan tuire berarti melihat. Maka intuisi berarti memandang/melihat ke dalam. Menurut Aristoteles intuisi adalah “as the mental acts by which, the premises of all knowledge are revealed”[5] Artinya bahwa pengetahun intuisi itu merupakan dasar dari semua pengetahuan indrawi. Sebagai dasar pengetahuan, intuisi mampu menangkap hal-hal di luar pengalaman real. Sifat intuisi adalah menangkap suatu tindakan yang berasal dari kesadaran spontan, bahkan tanpa pertimbangan nalar.

Pendapat Aristoteles ini juga senada dengan Pascal, seorang filsuf dan ilmuwan kristiani sekaligus seorang yang religius. Ia menggambarkan pengalaman religiusnya dalam istilah logika hati (heart reasons). Logika hati itu istilah lain dari intusi. Bagi Pascal hati/intuisi itu memiliki logikanya sendiri, yang tidak diketahui oleh nalar sedikitpun; “The heart has its reasons of which reason knows nothing”[6]. Hati itulah yang memberi ruang akan kehadiran Tuhan dalam diri manusia. Tuhan yang diimani itu pertama sekali datang lewat hati dan bukan lewat nalar, God perceived by the heart, not by the reason.[7]

Logika hati atau intuisi itu langsung berasal dari Allah. Allah hadir dalam hari manusia, sehingga manusia selalu merindukanNya. Pengalaman kehadiran Tuhan ini bersifat tiba-tiba. Manusia seperti mengalami sebuah peristiwa disergap oleh Allah. Maka secara tiba-tiba mengalami pengalaman yang ilahi/transendental, sebagaimana pernah dialami para mistikus besar dalam gereja dan agama-agama lain. Melalui pengalaman transenden itulah manusia menemukan makna dan arti hidupnya. Kerinduan dan kehausan akan makna hidup terpenuhi hanya dalam kesatuan dengan Allah. Pengalaman mistik F.C. Happold misalnya, ia melukiskan pengalaman itu terjadi dalam ruangan pribadinya. Ia merasakan adanya kehadiran, yang dengan cara aneh berada di sekitar dan sekaligus di dalam dirinya. Seperti cahaya atau kehangatan. “Dan saya terlingkupi oleh seseorang yang bukan diri saya, tetapi saya merasa semakin menjadi diri saya sendiri daripada sebelumnya. Saya dipenuhi kebahagiaan yang intens, dan seperti kesenangan yang tak tertahankan, yang sulit dilukiskan dengan kata-kata….”

Pengalaman Happold ini adalah contoh pengalaman mistik yang dialami secara nyata. Di dalam pengalaman tersebut, tidak ada lagi ketakutan, kekosongan maupun kekhawatiran, yang ada hanyalah ketenangan dan kebahagiaan, di mana pengalaman itu mengatasi segala yang ada. Bahkan pengalaman akan Tuhan itu tidak dapat dijelaskan secara verbal. Sifat pengalaman akan Tuhan itu melebihi atau mengatasi nalar manusia.

Kesimpulan
Berdasarkan bukti dari sains dan para filsuf, teolog, ahli psikologi yang pernah mengalami kekosongan dan pada akhirnya merindukan Tuhan. Maka dapat dimengerti mengapa manusia mencari Tuhan. Manusia adalah makhluk material dan spiritual sekaligus. Dan di dalamnya ada ruang yang selalu merindukan persatuan dan kehadiran yang tak terbatas. Sehingga berbagai cara ditempuh untuk menemukan sang Misteri dan transenden itu. Bahkan cara-cara irasional sekalipun ditempuh untuk menjawab kehausan jiwa yang merindukan kehadiran Allah. Di dalamNya-lah ada sumber makna dan ketenangan hidup.
[1] Danah Zohar dkk, Kecerdasan Spiritual, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 80
[2] Tuhan dalam konteks ini diberi tanda petik artinya, sebuah peristwa yang terasa begitu damai yang tak pernah dialami sebelumnya. Di mana rasanya manusia mengalami kepenuhan hidupnya dan ia tidak membutuhkan apa-apa lagi.
[3] Jacques Veuger MSF, Hubungan Jiwa-Badan menurut St. Agustinus, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 27
[4] Thomas P. Rausch, Katolisisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 131
[5] Bernard S. Cayne (editor), Encyclopedia Americana, (USA: Americana Corporation)
[6] Pascal, PenĂȘes, (London, Penguin Group, 1966), hlm. 27
[7] Ibid.,

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hmmmm....signifikansi dari temuan michael persinger justru gak gt Nov...justru ia menunjukkan bahwa pengalaman kita akan yg "ilahi" dapat dijelaskan cukup sebagai suatu peristiwa neurologis, di mana ia bisa timbul cukup dgn memberikan rangsangan pada lobus temporal....eksistensi "tuhan" jadinya tidaklah diperlukan untuk menjelaskan eksistensi pengalaman semacam itu

singkatnya, temuan Persinger justru menunjukkan bahwa yg namanya "pengalaman religius" itu bukanlah bukti bagi keberadaan tuhan! Ia hanya pengalaman yg timbul pada diri kita akibat suatu kondisi neurologis yg bisa kita rekayasa sendiri