By Noverius Laoli
Kata pengantar
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga dapat menyelesaikan Makalah ini. Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat sebagai Makalah UAS pada mata kuliah Filsafat Manusia II di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan – Bandung. Selain itu penulis juga merasa makalah yang berbicara mengenai status perempuan Nias sangat penting di zaman ini. Begitu sedikitnya literatur yang berbicara tentang perempuan Nias merupakan sebuah kesulitan tersendiri bagi penulis untuk menyelesaikan Makalah ini. Akan tetapi, sebagai orang Nias, penulis mengetahui banyak tentang adat istiadat di Nias dan bagaimana perempuan di perlakukan dalam budaya dan dalam masyarakat.
Atas semua ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dosen Filsafat Manusia, di FF Bapak St. Djunatan yang telah meluangkan waktunya membimbing penulis sehingga makalah ini dapat selesai. Juga terima kasih kepada teman-teman seangkatan di FF yang telah membantu memberi inspirasi pada penulis. Dan kepada mereka semua yang telah memotivasi penulis dan menyediakan sarana, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnnya. Harapan saya semoga makalah yang tidak sempurna ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Penulis menunggu saran dan kritik, dari pembaca.
Daftar isi
Kata pengantar
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga dapat menyelesaikan Makalah ini. Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat sebagai Makalah UAS pada mata kuliah Filsafat Manusia II di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan – Bandung. Selain itu penulis juga merasa makalah yang berbicara mengenai status perempuan Nias sangat penting di zaman ini. Begitu sedikitnya literatur yang berbicara tentang perempuan Nias merupakan sebuah kesulitan tersendiri bagi penulis untuk menyelesaikan Makalah ini. Akan tetapi, sebagai orang Nias, penulis mengetahui banyak tentang adat istiadat di Nias dan bagaimana perempuan di perlakukan dalam budaya dan dalam masyarakat.
Atas semua ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dosen Filsafat Manusia, di FF Bapak St. Djunatan yang telah meluangkan waktunya membimbing penulis sehingga makalah ini dapat selesai. Juga terima kasih kepada teman-teman seangkatan di FF yang telah membantu memberi inspirasi pada penulis. Dan kepada mereka semua yang telah memotivasi penulis dan menyediakan sarana, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnnya. Harapan saya semoga makalah yang tidak sempurna ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Penulis menunggu saran dan kritik, dari pembaca.
Daftar isi
Judul …………………………………………………………………………
Kata pengantar ………………………………………………………………
Daftar isi …………………………………………………………………..
Bab I Pendahuluan ……………………………………………….
Bab II Asal Usul Masyarakat Nias………………………………….
Bab III Rekap Hasil Wawancara…………………………………….
Bab IV Analisis ……………..………………………………………
Kesimpulan …………………………………………………
Daftar Pustaka ……………………………………………….
Bab I
Pendahuluan
Berbicara soal perempuan berarti berbicara soal martabat dan kedudukan. Di Eropa kaum feminis dengan gencar-gencarnya menyuarakan persamaan hak dan kedudukan dengan laki-laki. Mereka menyebut diri mereka kaum feminis. Seruan emansipasi wanita adalah realitas yang tidak asing lagi di telinga kita. Fakta ini telah menjadi bagian dari kehidupan manusia di abad ini. Hal ini tidak terlepas dari kedudukan lelaki yang umumnya lebih dominan daripada perempuan dalam segala hal. Laki-laki tampaknya sebagai sumber kekuasaan dan sering sekali perempuan yang menjadi korban kekuasaan tersebut. Biasanya kekuasaan tidak jauh dari pengetahuan. Bila yang dominan menguasai ilmu pengetahuan adalah laki-laki, maka kekuasan juga ada di tangan mereka, seperti telah dikatakan Nietzhe ”pengetahuan adalah kekuasaan”. Keinginan mengetahui (the will to power) adalah keinginan untuk menguasai.
Dihampir setiap negara dan budaya, kecenderungan menempatkan perempuan dalam posisi kedua sering terjadi. Laki-laki adalah simbol kekuasaan, pengetahuan dan kebenaran. perempuan adalah simbol yang tertakluk karena tak berdaya. Simone de Beauvoir adalah salah seorang tokoh feminis yang mencoba menelusuri akar dari kebudayaan di seluruh dunia, khususnya yang menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua. Kemudian Luce Irigaray merefleksikan lebih dalam lagi akar dari semua permasalahan ini. Di Barat sendiri bentuk pengelompokkan antara laki-laki dan perempuan begitu jelas dalam pemakaian bahasa. Berbeda dengan di Timur, dimana bahasanya tidak mengelompokkan jenis kelamin. Meskipun bahasa Timur tidak mengelompokkan jenis kelamin tetapi bila dilihat secara global, umumnya setiap kebudayaan yang ada di dunia menempatkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Tendensi-tendensi seperti ini sangat dominan dihampir semua akar kebudayaan. Khususnya di Nias, yang jauh dari hirukpikuk perdebatan antara feminis dan maskulin di Eropa dan Amerika. Sebagaimana dilaporkan oleh Kompas dan Tempo, perempuan Nias masih saja mengalami ketidakadilan sampai hari ini. Bahkan dalam sebuah rekaman video, ketika salah seorang perempuan Nias yang ketahuan melakukan hubungan seks dengan kekasih gelapnya, ia malah dipaksa membuka kembali pakaiannya agar direkam dan disebarkan ke semua orang. Tindakan seperti ini sudah melanggar hak asasi manusia. Masalahnya di sini adalah sebagaian besar perempuan Nias tidak menyadari hak-hak-nya. Pendidikan yang rendah dan hidup dalam ekonomi yang pas-pasan membuat mereka semakin bodoh dari hari ke hari. Mereka tidak sempat lagi memikirkan hak-hak mereka apalagi mengembangkan diri secara intelektual.
Realitas yang terjadi di Nias adalah perempuan itu sering ditempatkan di kelas nomor dua. Bahkan dalam memilih pasangan hidupnya pun mereka tidak bisa. Zamannya Sitinurbaya masih kental di Nias. Perempuan itu masih dijodohkan. Artinya mereka tidak dapat memilih sendiri siapa yang akan menjadi suaminya. Situasi ini, agaknya tidak menganggu bagi mereka, khususnya bagi perempuan yang masih hidup dalam budaya Nias yang masih kental adat istiadat-nya. Bisa dikatakan hal ini sudah menjadi hal yang lumrah atau tidak ada artinya perlawanan, karena toh hidup mereka telah ditentukan oleh hukum adat yang berlaku.
Tampaknya kedudukan perempuan Nias dalam kebudayaan dan masyarakat tidak melulu sebagai objek yang lemah. Dalam beberapa hal perempuan Nias juga menentukan. Mereka dibutuhkan dalam upacara-upacara adat. Mungkin tidak etis kalau kita menuduh ini atau itu yang salah. Lebih bijaksana kalau penulis menyarankan agar perempuan Nias itu meningkatkan kualitas SDM mereka.
Akhirnya, ketidakadilan selalu saja ada dihampir semua tempat di dunia ini. Semuanya tergantung bagaimana kesiapan kita menyikapinya, agar tidak menjadi korban atau dikorbankan pun mengorbankan orang lain. Hal yang paling konkret yang harus dilakukan adalah belajar dari sejarah. Sebagaimana telah diserukan oleh Santayana – Filsuf Amerika: ”Orang yang tidak belajar dari sejarah akan dikutuk untuk mengulangi sejarah itu lagi”. Artinya jika sejarah itu sejarah yang suram maka kita akan mengulangi kesuraman itu lagi, di mana seharusnya tidak perlu kita ulangi. Lebih tegas bila dikatakan: agar kesalahan yang telah dilakukan oleh nenek moyang kita tidak diulangi lagi.
Bab II
Asal Usul Masyarakat Nias
A. Latar belakang
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Orang Nias menyebut diri mereka sebagai “Ono Niha” (anak manusia). kemudian pulau Nias disebut sebagai “Tanő Niha” (tanah manusia). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam hukum adat dan kebudayaan yang sangat kental. Hukum adat Nias secara umum disebut fodrakő yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Jauh sebelumnya, masyarakat Nias primitif hidup dalam budaya megalitik. Hal ini terlihat dari peninggalan sejarah seperti ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulai Nias sampai sekarang ini.
Masyarakat Nias juga mengenal sistem kasta. Ada dua belas tingkatan kasta. Di mana tingkatakan yang tertinggi adalah “Balugu”. Untuk mencapai tingkatan ini, seseorang harus mempu mengadakan pesta besar selama berhari-hari dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi. Biasanya orang-orang yang melakukan ini adalah mereka yang memiliki harta dan emas. Bahkan emas adalah lambang kejayaan dan kebesaran kedudukan seseorang. Dikenal dengan istilah “firő” (uang) dan ana’a (emas).
Mitologi:Menurut masyarakat Nias, dalam sebuah mitos, orang nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut “Sigaru Tora’a” yang terletak disebuah tempat yang bernama “Tetehőli ana’a”. dalam mitos itu diceritakan bahwa kedatangan orang Nias ke Pulau Nias dimulai sejak zaman raja Sirao yang memiliki sembilan putra. Anak-anaknya ini disuruh keluar dari Tetehőli Ana’a karena memperebutkan Takhta Sirao. Dan setelah ke-9 putranya ini dikeluarkan dari Tetehőli Ana’a, dan menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif[1] dan di Kompas,[2] Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.[3]
Marga Suku Nias: Suku Nias terdiri dari beberapa marga diantaranya : Amazihönö, Beha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawolo, Dachi, Dachi Halawa, Daeli, Dawolo, Dohare, Dohona, Duha, Fau, Farasi, Gaho,Gea, Giawa, Gowasa, Gulö, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondro, Hulu, Humendru, Hura, Lafau, Lahagu, Lahomi, La'ia, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawolo, Lo'i, Lombu, Manao, Mandrehe, Maruao, Maruhawa, Marulafau, Marundruri, Mendröfa, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Saoiago, Sarumaha, Sihura, Tafonao, Telaumbanua, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu,Zagoto, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zandroto, Zebua, Zega, ....
B. Asal usul masyarakat Nias (Menurut Elio Modigliani)[4]
Penelitian ini diberi judul “Penelitian tentang asal-usul orang-orang Nias.” – berdasarkan hasil penelitiannya, Modigliani melihat, bahwa suku-suku yang tinggal di pulau Nias sangat berbeda dengan suku lain. Ciri-ciri fisik serta akal budi mereka yang berbeda sangat menonjol. Perbedaan utama dilihatnya dari penduduk di bagian utara dan selatan. Modigliani melukiskan mereka begini:
“Para penduduk di sebelah Utara kelihatan lebih kecil dengan anggota-anggota tubuh yang lebih kurus dan otot yang lemah. Wajah mereka lebih bulat oval dan mata mereka kecil. Sedangkan para penduduk di sebelah Selatan pada umumnya lebih tinggi, bentuk tubuh mereka lebih proporsional dan lebih kuat. Muka mereka lebih memanjang, dan mata mereka lebih lebar, hitam, bernyala dan sering sipit.” Di sebelah Selatan jarang ditemukan orang dengan mata horizontal. Di antara orang-orang itu ditemukan juga orang “[5]
dengan mata sipit sedikit dan dengan ciri khas seperti orang Cina”. Inilah kesan pertama dari Modigliani, bahwa perbedaan etnis di antara Utara dan Selatan lebih menonjol. Tetapi dia melihat juga kemungkinan, bahwa sudah terjadi suatu proses asimilasi dalam suatu periode yang panjang melalui migrasi para penduduk dan melalui perkawinan campur. Lama-kelamaan tercipta suatu ciri khas gabungan dari dua elemen etnis.
Modigliani melanjutkan uraiannya dengan melihat suatu elemen etnis yang lain, yakni di Nias Barat, persisnya di gunung Buruasi, dan Di Lafau pantai Utara. Para penduduk di dua tempat itu, katanya, memperlihatkan elemen etnis ketiga yang menonjol di Nias. Mereka adalah paling tinggi di antara semua penduduk yang dilihat oleh Modigliani. Rambut mereka lebih bergelombang dan sedikit keriting. Mata mereka hitam dan horisontal melulu. Hidung mereka tidak pendek seperti biasanya hidung orang Melayu, melainkan memperlihatkan suatu profil yang tajam, mirip dengan burung elang. Menurut Modigliani boleh jadi adanya pengaruh kuat dari Aceh.
Selain itu, Modigliani mengkonstatir pula, bahwa terdapat perbedaan besar di bidang adat-istiadat yang berakar dalam masyarakat setempat. Di sebelah Utara pulau Nias orang mati biasanya di kubur. Sedangkan disebelah Selatan mayat-mayat orang mati di baringkan dalam peti yang berbentuk perahu dan diletakkan seperti di atas bale-bale dengan tiang yang cukup tinggi, sekitar dua meter di atas tanah – Perebedaan yang lain ditemukan pada cara untuk berpakaian, pada kepribadian mereka dan di bidang bahasa.
Modigliani tidak membenarkan cerita yang mengatakan, bahwa orang Nias berasal dari suku Batak. Perbedaanya terlalu besar, maupun roman muka, rambut dan warna kulit sangat berbeda dengan orang Nias, apalagi adat istiadat dan bahasa. Selain itu orang batak adalah antropofag, mereka punya tulisan dan pustaka, sedangkan orang Nias tidak.
Akhirnya modigliani menyimpulkan: “saya yakin, bahwa para leluhur Nias berasal dari Indostan.” Dan menurut dia, mereka datang dari sana berturut-turut dan bergelombang, bukan hanya satu kali saja, melainkan selama beberapa abad
Taraf penelitian pada Akhir abad milenium ke-2)
Pada akhir abad ke-20, tingkat penelitian tentang asal-usul masyarakat Nias seolah-olah belum berkembang, masih tetap seperti 100 tahun sebelumnya. Hal ini terbaca dalam buku Reinhold Mittersakschmỏller, direktur museum etnologis di Kota Vienna, Austria. Dalam buku yang diterbitkannya, terdapat catatan harian dan foto-foto dari Freiherr von Brenner-Felsach, Austria, yang pada tahun 1887 telah mengadakan perjalanan di pulau Nias. Tulisan etnografis dari Brenner kemudian dilengkapi Reinhold Mittersakschöller, yang memberi suatu gambaran tentang Nias pada akhir abad ke-20. jarak waktu antara kedua tulisan tersebut lamanya 110 tahun. Dari sudut antropologi kita melihat dan merasakan perubahan yang cukup drastis di pulau Nias. Akan tetapi yang menyangkut penelitian tentang asal-usul orang Nias, rupanya sampai sekarang masih belum terdapat suatu perkembangan yang berarti.
Mittersakschmoller memberi suatu gambaran singkat tentan asal usul orang Nias, seperti ditemukan oleh Brenner pada tahun 1887, yang sampai sekarang belum dikembangkan dan ternyata belum ditafsirkan dengan tepat. Dalam buku itu Reinhold Mittersakschmoller mengutip skripsi dari Petra Aster yang ditulis dalam rangka menyelesaikan diplomanya. Di situ Petra Aster[6] menguraikan sbb:
Menurut Ono Niha, mereka ini adalah keturunan para leluhur mitos yang berbeda-beda. Mereka melihat dirinya sebagai putra-putra Sirao, allah pencipta. Nama-nama kecil mereka adalah: Hia, Gỏzỏ, Hulu, Daeli. Rupanya Sirao pertama-tama mengutus putranya Hia ke dunia. Hia sampai di dunia bagian Selatan pulau itu. Tetapi barang-barang berharga yang dibawanya serta dari dunia atas begitu berat, sehingga membahayakan dunia ini, mau terjungkir ke dalam laut. Untuk menghindarinya, Sirao mengutus putranya Gỏzỏ ke Utara. Lantas situasi menjadi makin gawat, karena bagian tengah dari pulau begitu kuat melingkung ke atas, sehingga dikuatirkan, bahwa Gỏzỏ dengan ujung Utara dunia akan tenggelam dalam air. Dunia baru seimbang, setelah dua bersaudara yaitu, Hulu dan Daeli, turun dan menetap di pertengahan pulau itu.
Bagaimana leluhur Nias turun ke dunia, urutannya biasanya berbeda, karena pada umumnya diutamakan para leluhur mitos suku masing-masing. Menurut kepercayaan orang Nias, putra-putra Sirao membawa serta dari dunia atas beberapa potongan barang untuk manusia. Hia misalnya, leluhur kebanyakan penduduk di Utara. Turun ke dunia dengan rumahnya, dengan alat-alat ukuran, dengan timbangan dan dengan ukuran babi. Leluhur Daeli membawa serta ubi jalar dan satu batu asah. Terkadang dikatakan pula, bahwa dia membawa api ke dunia. Hulu, putra ke-3 dari Sirao, tidak membawa serta barang-barang penting ke dunia. Namun kelak dia toh harus menduduki posisi penting dalam hidup orang Nias. Pada suatu hari, sewaktu dia bersin di jendela atap, dia kehilangan kepalanya. Kemudian tumbuh suatu pohon kelapa dari padanya. Darahnya menjadi keanekaragaman rumput dan pohon. Akhirnya Zebua, yang hanya dikenal dibeberapa daerah selatan, dikabarkan menciptakan fungsi-fungsi imam di dunia .
Sirao sebagai ayah para leluhur mitos orang Nias juga dikenal sebagai tuan dari “Langit ke-8”. Langit ke-8 itu berada langsung di atas dunia dan disebut juga Teteholi Ana’a (dunia atas yang terdiri dari emas). Tiga isterinya melahirkan kepada Sirao anak-anak laki-laki. Nama anak-anak dari isteri pertama adalah: Ba’uwa Danỏ, Lakindrỏ dan Luo mewỏna. Yang lain bernama: Lasore, Gỏzỏ, Hia, Lahari, Daeli dan Hulu. Waktu Sirao memutuskan mencari penggantinya, semua putranya ingin menerima jabatannya. Oleh karena itu, Sirao memutuskan mengadakan suatu kompetitif definitif. Ia tancapkan sebatang tombak ke dalam tanah dan menugaskan putra-putranya untuk mencabutnya. Siapa yang akan berhasil, dia akan dianggap layak untuk menggantinya. Anak sulung Ba’uwa Danỏ gagal dan harus meninggalkan dunia atas. Dia kelak harus menjadi pemikul dunia dan bermukim di dunia bawah. Juga putra-putra lain berusaha, tetapi gagal. Oleh karena itu empat di antara mereka (Hulu, Daeli, Hia dan Gỏzỏ) di utus ke dunia sebagai leluhur manusia. Hanya Luo Mewỏna berhasil melaksanakan tugas sesaui kehendak ayahnya. Dia menjadi pengganti Sirao dan diizinkan untuk menetap di Tetehỏlo Ana’a.
C. Kedudukan Perempuan Nias
Perempuan dalam adat istiadat dan suku Nias adalah warga kelas dua. Tingkatan ini jelas, dan secara terang-terangan terjadi. Pertama, yang menjadi kepala keluarga adalah laki-laki. Kedua, perempuan tidak bisa mengambil keputusan apapun tanpa suaminya.[7] Ketiga, perempuan sering disamakan dengan barang/harta/kekayaan laki-laki. Keempat, anak yang diharapkan dalam keluarga adalah laki-laki. Bila laki-laki belum ada, maka orang nias bisanya merasa belum memiliki anak. Anak laki-laki adalah penerus marga. Yang mampu mengantikan posisi keluarga dan meneruskan nama klan. Artinya lelaki adalah hidup itu sendiri.[8] Hal ini terjadi dalam budaya-budaya berpola dua juga, sebagaimna Jacob Sumarjdo menuliskan bahwa Anak lelaki lebih diharapkan, karena memungkinkan hidup kolektif akan terus berlansung.[9] Kedudukan perempuan sebagai nomor dua membuka kesempatan kepada pihak laki-laki untuk berlaku secara sewenang-weang terhadap perempuan. Perempuan bukan tidak diperlukan, tapi dikalahkan. Perempuan dilihat sebagai jenis kelamin kedua.[10]
Berdasarkan laporan yang disampaikan Kompas, perempuan nias sering terpinggirkan dan terus berada di ranah domestik dengan beban kerja yang tinggi. Perempuan nias masih juga menerima tindakan kekerasan dari orang-orang terdekat.[11] Kekerasan yang diderita ini sering berasal dari orang tua, saudara laki-laki dan suami. Hasil penelitian kompas ini menceritakan bahwa seorang anak perempuan dan istri yang baik dalam perpektif Nias dilarang menjawab apa yang dikatakan suami atau orangtuanya. Jika hal itu terjadi, maka kekerasan fisik akan menimpa mereka.
Akan tetapi, dalam beberapa hal perempuan nias memiliki peranan yang sangat sentral. Misalnya saat pesta perakwinan. Merekalah yang mamidi afo (sirih) dan mamotu ono nihalő (menasehati pengantin perempuan). Dan mereka juga yang pertama sekali menyambut ketika tamu rombongan dari pengantin laki-laki datang. Dalam hal ini, kedudukan perempuan di Nias tak selamanya dipandang rendah. Mereka juga ikut menentukan dalam beberapan hal.
Kedudukan perempuan nias sesungguhnya selalu berada di wilayah abu-abu, di satu sisi mereka memiliki posisi yang sangat tinggi dalam kebudayaan yaitu berperan aktif dalam upacara perkwian dan disisi lain mereka tidak dianggap bila telah menyangktu masalah adat dan norma-norma budaya. Dalam kehidupan sehari-hari, sering ditemukan perempuan nias diperlalukan secara tidak adil. Bahkan dalam beberapa hal mereka hanyalah budak suami dan anak-anak mereka. Meskipun hal ini tidak diungkapkan secara publik, akan tetapi terjadi secara riil. Peristiwa semacam ini, tampaknya tidak asing lagi sehingga tidak pernah diberikah perhatian khusus atasnya. Akibatnya, kebiasaan buruk ini terus diderita oleh perempuan yang tidak beruntung.
Memperlakukan perempuan sebagai jenis kelamin kedua memang tidak adil. Akan tetapi perspektif budaya nias membuka kesempatan ke arah ketidakadilan ini. Dalam adat perkawian, perempuan secara tidak langsung itu dibeli oleh pihak laki-laki. Dengan membayar “bowő” (jujuran) yang besar, maka perempuan itu menjadi miliknya. Artinya perempuan adalah harta suaminya. Lelaki memiliki kuasa penuh kepada istrinya. Orang tua tidak boleh ikut campur lagi.[12]
Kedudukan laki-laki yang lebih tinggi dalam budaya Nias tampaknya tidak terlepas dari mitos asal-usul masyarakat Nias. Di mana Sirao, menurunkan anak-anaknya ke dunia, dan mereka semua adalah laki-laki. Pertanyaanya, dari mana datangnya perempuan? Hal ini masih belum terjawab. Tetapi bisa kita lihat, tempat tinggal Raja Sirao disebut Tetehőli ana’a, melambangkan kandungan ibu, keberadaan janin dalam rahim ibunya.[13] Artinya bahwa perempuan juga memiliki kedudukan sentral dalam mitos ini. Meskipun pada realitasnya tidak ditonjolkan lagi. Akhirnya dapat dikatakan bahwa perempuan adalah rahim bagi kehidupan. Jika anak laki-laki adalah kehidupan maka perempuan adalah tempat kehidupan itu bersemayam. Keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Kehidupan tak mungkin ada dan bisa berlangsung tanpa ada tempat yang membuat dia hidup. Laki-laki tidak bisa hidup tanpa perempuan. Keduanya memiliki kedudukan yang sentral meskipun dalam fungsi, mereka berbeda.
Bab III
Rekap Hasil Wawancara
Wawancara yang dilakukan oleh penulis akan dimasukkan semunnya dalam bab dua ini.
A. Wawancara dengan pastor Onesius Otenieli Daeli (Ote)
Bagaimana pendapat pastor mengenai perempuan dalam kultur kita orang Nias?
Menurut saya, secara umum perempuan orang nias itu jarang sekolah. Alasan pertama adalah perempuan itu selalu di jaga dan dikwatirkan, bila ia agak bebas. Artinya lebih sering keluar rumah, kemungkinan akan diincar laki-laki dan kalau terjadi apa-apa bisa mempermalukan keluarga.
Maskudnya pastor, saya kurang mengerti.
Begini Nove, dalam budaya kita orang nias itu, perempuan itu sangat dijaga, ada ketakutan dari orang tua dan saudara-saudaranya kalau saudara mereka perempuan diganggu oleh laki-laki lain dan akibatnya mencoreng nama keluarga, dan kamu pasti tahu dalam adat orang nias, nama keluarga itu sangat berharga bahkan menentukan status sosialnya di dalam masyarakat. Jadi bagaimanapun nama keluarga itu harus dipertahankan bahkan meski harus nyawa taruhannya.
Oh, begitu pastor, tetapi mengenai perempuan sendiri, maksud saya, pemahaman orang Nias pada umumnya terhadap status perempuan itu seperti apa? Khususnya terhadap perempuan yang sudah menjadi istri?
Istri itu kan, bisa diperoleh bila “bowő” (mas kawin), maka perempuan itu dilihat sebagai satu tingkat lebih tinggi dari barang. Artinya perempuan itu sudah dibeli. Dengan kata lain, laki-laki punya hak untuk apa saja padanya. Karena bowő perempuan jadi tidak setara dengan laki-laki. Dan praktik-praktik seperti ini sangat menonjol sekitar tahaun 1980-an ke bawah.
Jadi bagaimana pandangan orang Nias sekarang terhadap perempuan pastor?
Orang tua sekarang tidak mau anak-anakanya diperlakukan seperti dulu, termasuk anak peremuan, artinya semua harus bersekolah baik itu laki-laki maupuan perempuan. Bahkan sekarang hampir tidak ada bedanya perempuan dan laki-laki. Sebab dulu perempuan itu selalu dilihat akan jadi milik orang lain (suaminya) sehingga tidak perlu pendidikan tinggi-tinggi.
Oke, pastor, sekarang saya mau bertanya tentang peran ibu rumah tangga dalam adat istiadat kita orang Nias seperti apa, khususnya dalam upacara pernikahan.
Ibu rumah tangga itu memiliki peranan sentral saya kira ya, dalam hal ini. Lihat kalau biasanya ada pernikahan, biasanya di tempat kita, satu malam sebelum pernikahan resmi diadakan ada istilah “famee” (tangisan pengantin perempuan). Ha…dalam acara ini, ibu-ibu memberi penjelasan tentang masa depan si pengantin perempuan ketika ia sudah menikah nanti, memberi penjelasan bagaimana jadi seorang ibu, apa suka dan dukanya, dan menasehatkan kalau ada masalah bagaimana pemecahannya dan berbagai cara dilakukan misalnya bahwa tinggal malam inilah kamu bisa bersama dengan orang tua dan saudara-saudarimu setelah itu kamu akan menjadi milik orang lain, dan kamu akan meninggalkan kegadisanmu dan kegembiraanmu bersama orang tua dan saudara-saudarimu. Yang penting mereka mengusahakan agar si pengantin sampai menangis.
Sekarang saya mau tahu tentang seberapa besar penghargaan adat nias terhadap perempuan.
Oh begitu, sejauh saya lihat dan tahu, dalam adat perempuan sangat dijunjung tinggi. Misalnyaya, perempuan itu memberi nasehat. Misalnya dalam kasus pernikahan ya seperti yang kita omongkan tadi. Ada ritus untuk perempuan. Kamu tahukan ketika upaca pernikahan. Ketika pengantin laki-laki datang, yang pertama menyambut rombongannya adalah kaum perempuan (ibu-ibu). Ini adalah ritusnya, perempuan mengadakan “fangowai” (penghormatan) terhadap tamu. Kemudian baru diserahkan pada giliran laki-laki. Jadi perempuan yang pertama. Selain dalam perkawinan, perempuan juga memiliki peranan penting dalam membesarkan dan pendidikan anak. Perempuan juga tidak bisa banyak bicara dalam adat tetapi suara ibu itu biasanya sungguh didengar. Ibu juga seorang juru damai – kalau ada perkelahian antar suku atau keluarga dan jika perempuan sudah turun selesai perkelahian. Ada mitos yang memercayai bahwa ilmu-ilmu hitam itu tidak berdaya dihadapan perempuan, sehingga perempuan itu ditakuti dan dihargai.
Pasor, bagaimana pandangan orang nias terhadap perempuan yang bekerja?
Ya, saya melihat seolah-olah perempuan itu dibatasi dalam peran, karena keinginan laki-laki. Contoh, perempuan dibatasi dalam berbagai kegiatan mudika, bahkan sering ditemani jika pergi ke kegiatan-kegiatan seperti ini. Orang tua khususnya takut, jangan-jangan ia diganggu. Landasan dari ketakutan ini berasal dari istilah “emali (pengambil kepala) dan “dawarate”(perampok). Istilah ini sudah sangat mengakar dalam sejarah nias, sehingga perempuan sangat dilindungi oleh anggota keluarga. Selain itu, budaya nias sangat tertutup, supaya perempuan tidak membawa aib dalam keluarga. Harga diri orang nias sangat tinggi, seperti telah saya katakan tadi. Jika harga diri keluarga dipermalukan dan sering dijadikan “fangosi” (hujatan) bila terjadi pertengkaran. Sementara orang nias itu merasa dirinya “ono niha” (anak manusia) betulan – suatu kebanggaan. Atau menamakan diri “sibatua” (manusia unggul atau ajaib –lebih baik dibanding manusia lain). Masalah yang diperkarakan di sini adalah “jati diri” karena merasa diri anak manusia yang lebih tinggi dari makhluk lain.
Selain itu yang dipertahankan juga adalah “Lakhőmi” (makhkota – kesahajaan keluarga) ada istilah “sőkhi mate mori na aila” (lebih baik mati daripada malu”. Maka “tői” (nama) sangat penting. Selain itu sistem kekerabatannya juga sangat eklusif, sehingga cepat bereaksi kalau ada gangguan dari luar – sensitif. Kira-kira seperti itu gambaran umum mengenai budaya kita orang Nias tentang pandangan adat terhadap perempuan.
Oke pastor, terima kasih, atas wawancaranya, mudah-mudah berguna bagi kita semua,
Terima kasih kembali nove semoga sukses. Ya’ahowu.
B. Wawancara dengan perempuan Nias (mereka adalah suster)
fr. aku langsung tulis jawabannya ya…….. sesuai dengan pendapat masing2 suster okey……..semoga membantu.
Pertanyaan & Jawaban
1. Apa saja peran perempuan dalam rumah tangga menurut adat orang Nias?
Jawab. Sejauh saya tahu, peranan perempuan dalam rumah tangga orang Nias adalah mengurus anak, baik itu memasak makanan, memandikan anak, dan mengurus semua keperluannya, selain itu juga melayani suami, membersihkan rumah, mamasak, mencuci, memberi makan ternak dan berkebun dll
2. Bagi para perempuan yang sudah bekerja atau wanita karir, apa pendapat orang nias pada umumnya mengenai status mereka?
Jawab: Bagi para perempuan yang sudah bekerja/wanita karier, pendapat orang nias pada umumnya mengenai status mereka adalah bahwa perempuan yang sudah bekerja itu orangnya hebat dan pintar. Karena biasanya perempuan nias itu jarang yang memiliki kerja berkarir atau mandiri.
3. Bagaimana perempuan dipandang secara adat nias. Karena sering juga kita melihat perempuan itu memiliki peran yang sangat penting. Misalnya dalam malam menjelang perkawinan ada istilah fame’e (membuat nangis pengantin perempuan) dan itu dilakukan oleh kaum perempuan.
Jawab: Perempuan dalam adat nias sering dianggap nomor dua. Dalam pembagian harta kepada anak-anak perempuan sama sekali tidak mendapat bagian. Kepada mereka hanya diberikan perhiasan atau perlengkapan pakaian pada waktu perkawinan dan itu yg menjadi warisannya. Menurut orang Nias alasan utama untuk tidak memberi bagian dari warisan orang tuanya, karena toh mereka akan mendapat melalui suaminya. Seandainya seorang perempuan janda dan tidak mempunyai anak tidak dapat diurus oleh kerabat suaminya, ia berhak pulang ke rumah orang tua atau keluarganya sendiri.
4. Sejauh suster tau apa dan di mana posisi perempuan dalam budaya Nias. Maksudnya apakah kehadiran perempuan sangat menentukan dalam hukum adat. Atau kira-kira apa pengaruh perempuan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat nias.
Jawab: Pengaruh perempuan dalam kehidupan sehari-hari, setahu saya posisi perempuan dalam budaya Nias adalah kalau ada pesta perkawinan yaitu untuk mamidi afo (sirih), mamotu ono nihalo (memberi nasehat bagi pengantin) dan melayani para tamu.
5. Sering juga kita melihat bahwa perempuan itu lebih ampuh daripada laki-laki, misalnya jika ada laki-laki berkelahi tapi kalau perepuan sudah turun laki-laki tidak berkutik sama sekali. Bagaimana menurut suster hal itu. Di mana kedudukan perempuan di situ.
Jawab: Peranan perempuan dalam hal itu adalah sebagai seorang ibu yang mempunyai senjata kelembutan hati.
Salam dari Sr. Ricarda FJCM Paroki St. Maria Togizita Nias Tengah Kec. Lolo wa
1. Apa saja peran perempuan dalam rumah tangga menurut adat orang Nias?
Jawab: Sebagai ibu rumah tangga, sebagai pengatur kerja dalam keluarga, melayani suami, mengasuh dan mendidik anak2.
2. Bagi para perempuan yang sudah bekerja atau wanita karir, apa pendapat orang Nias pada umumnya mengenai status mereka?
Jawab: Pandangan orang nias pada umunya adalah mengatakan bahwa martabat perempuan sudah mulai terangkat.
3. Bagaimana perempuan dipandang secara adat nias. Karena sering juga kita melihat perempuan itu memiliki peran yang sangat penting. Misalnya saat malam menjelang perkawinan ada istilah fame’e (membuat nangis pengantin perempuan) dan itu dilakukan oleh kaum perempuan.
Jawab: Sebagai ratu (semasih gadis ) apalagi mau menjelang pesta pernikahan, artinya pertama bahwa segala sesuatu akan ditinggalkan khususnya orang tua dan pergi ke rumah suaminya. kedua diberi nasehat supaya kelakuan masa mudanya (sebelum nikah) di tinggalkan dan mengikuti, mengurus suatu rumah tangga dengan baik, menghargai suami, mertua dan seluruh keluarga.
4. Sejauh suster tau apa dan dimana posisi perempuan dalam budaya Nias. Maksudnya apakah kehadiran perempuan sangat menentukan dalam hukum adat. Atau kira-kira apa pengaruh perempuan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat nias.
Jawab: Posisi perempuan dalam budaya Nias adalah hanya sebagai nomor dua, tidak terlalu diharapkan apalagi dalam mementukan hukum adat.
5. Sering juga kita melihat bahwa perempuan itu lebih ampuh daripada laki-laki, misalnya jika ada laki-laki berkelahi tapi kalau perempuan sudah turun, laki-laki tidak berkutik sama sekali. Bagaimana menurut suster hal itu. Dimana kedudukan perempuan di situ.
Jawab: Karena perempuan itu dianggap lemah, maka perlu perlindungan oleh kaum laki2, sehingga kalau ada perang maka perempuan dalam hal ini bisa menjadi pendamai pada saat itu
Salam dari Sr. Rafaela SCMM, Paroki Teluk Dalam Nias Selatan.
1. Apa saja peran perempuan dalam rumah tangga menurut ada orang Nias?
Jawab: Saya juga sependapat dengan kedua para suster di atas yaitu bahwa perempuan dalam rumah tangga dianggap hanya sebagai ibu tumah tangga, mengasuh anak, melakukan segala pekerjaan rumah (menyuci & memasak) dan juga bekerja misalnya berladang atau berkebun juga memelihara ternak bila ada. tapi yang ingi saya tambahkan adalah bahwa dalam sebuah rumah tangga yang mendominasi adalah sang suami, saya bisa memberi contoh misalnya bila ada suatu keputusan rumah tangga yg dominan memutuskan adalah laki-laki, selain itu perempuan harus melayani suami padahal laki-laki tidak berbuat sebaliknya (misalnya menyiapkan makanan bila ibu tidak ada di rumah) peranan perempuan (sebagai seorang ibu) sagat kurang dihargai........
2. Bagi para perempuan yang sudah bekerja atau wanita karir, apa pendapat orang Nias pada umumnya mengenai status mereka?
Jawab: Bagi saya perempuan yang sudah bekerja, orang Nias berpandangan bahwa suatu hal yang hebat dan dihargai ( pandangan dulu), tetapi sejauh yang saya alami untuk zaman sekarang suatu hal yang biasa atau wajar saja karena saat ini sudah mulai banyak kaum perempuan yang berhasil dan bisa menghidupi diri sendiri.
3. Bagaimana perempuan dipandang secara adat nias. Karena sering juga kita melihat perempuan itu memiliki peran yang sangat penting. Misalnya dalam malam menjelang perkawinan ada istilah fame’e (membuat nangis pengantin perempuan) dan itu dilakukan oleh kaum perempuan.
Jawab: Bagaimana perempuan dipandang secara adat nias, pertama dalam satu sisi peranan perempuan penting seperti contoh yg fr berikan yaitu fame’e. tetapi di lain sisi peranan/keberadaan perempuan sangat2 dilalaikan, misalnya dalam perkawinan ada istilah dijodohkan....di sini saya melihat bahwa perempuan sagat rendah nilainya, orang tua hanya tinggal menjodohkan, tanpa mendengarkan persetujuan yg bersangkutan......kedua dalam pembicaraan-pembicaraan, rapat, kehadiran laki-laki diutamakan dan perempuan bisa hadir bisa tidak.
4. Sejauh suster tahu apa dan di mana posisi perempuan dalam budaya Nias. Maksudnya apakah kehadiran perempuan sangat menentukan dalam hukum adat. Atau kira-kira apa pengaruh perempuan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat nias.
Jawab: Pengaruh perempuan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Nias yaitu sering dilalaikan, dinomorduakan (misalnya dalam pembagian harta), tidak diperhitungkan (misalnya bila dalam sebuah keluarga belum ada anak laki-laki, akan terus dicari sampai dapat walau sudah ada anak perempuan........seolah-olah anak perempuan bukan anak) dan masih banyak contoh lainnya.
5. Sering juga kita melihat bahwa perempuan itu lebih ampuh daripada laki-laki, misalnya jika ada laki-laki berkelahi tapi kalau perempuan sudah turun laki-laki tidak berkutik sama sekali. Bagaimana menurut suster hal itu. Di mana kedudukan perempuan di situ.
Jawab: Kedudukan perempuan dalam hal ini adalah menenangkan suasana yang dipenuhi emosi--------sorry ya kalau dalam hal ini perempuan lebih bijaksana menyelesaikan masalah artinya dalam menyelesaikan sesuatu tidak harus degan berkelahi.......main tenaga bahkan main pisau............fr jangan marah ya, aku hanya bermain-main saja tapi maksud saya di sini perempuan bisa dikatakan sebagai penengah di antara laki-laki,. setuju nggak........jawab ya kalau setuju aku tunggu jawabannya....
Salam dari aku Laura paroki Lahewa (Nias Utara)
Bab IV
Analisis
Setelah melihat hasil wawancara yang tertera dalam rekap hasil wawancara dalam bab III, ada beberapa hal yang perlu dianalisis. Penulis membaginya dalam dua bagan besar yaitu:
A. Aspek Negatif
1. 1. Perempuan sebagai nomor dua
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkan bahwa, semua yang diwawancarai setuju kalau perempuan dalam budaya Nias itu berada di posisi kedua. Bahkan dalam wawancara yang penulis lakukan dengan Pastor Otte, beliau mengatakan bahwa, perempuan dalam budaya Nias diperlakukan hampir sama dengan barang. Bedanya, perempuan itu lebih tinggi setingkat daripada harta benda. Itu berarti perempuan berada diposisi lebih rendah daripada laki-laki. Karena berada diposisi lebih rendah, kerapkali perempuan diperlakukan tidak adil. Seperti data yang dilaporkan dalam Koran Kompas, yang telah dikutip oleh penulis di bab II, nampak perempuan sering dijadikan tempat/objek kekerasan fisik dan mental. Perempuan misalnya tidak bisa menjawab kata-kata suaminya atau kalau dia masih gadis, ayah dan saudara laki-lakinya. Meskipun apa yang dikatakan itu tidak benar dan menyakitkan, anak perempuan harus menerimanya dengan lapang dada dan membenarkan semua perkataan tersebut. Hal itu dipertegas lagi oleh responden lainnya: Posisi perempuan dalam budaya Nias adalah hanya sebagai nomor dua, tidak terlalu diharapkan apalagi dalam mementukan hukum adat.[14]
Perempuan bisa diperlakukan sama seperti halnya barang. Di Nias sendiri, perempuan itu dibayar sebelum menikah. Ada istilah böwö (jujuran). Dan biasanya böwö ini dibayar dalam jumlah yang besar. Bahkan sering terlihat, ada orang yang tidak sanggup lagi membayar utang karena sebelumnya mereka meminjam uang untuk membayar jujuran nikah. Dan sesudah menikah, utang itu tidak sanggup dilunasi sampai mereka masuk ke liang kubur. Hal itulah, yang menentukan mengapa perlakuan terhadap perempuan tidak adil. Biasanya, perempuan sering dikambinghitamkan sebagai sumber utang, yang membuat keluarga sengsara. Maka ketika mereka mendapat perlakuan kasar secara fisik dianggap tidak begitu berharga dibanding dengan uang jujuran yang telah dibayarkan kepada orang tuanya.
Salah satu faktor yang membuat perempuan sebagai nomor dua adalah adat perkawinan. Sebab böwö (jujuran) tadi, seolah-olah menerapkan pandangan bahwa perempuan itu sudah sah menjadi milik suaminya jika semua persyaratan ini sudah dapat dipenuhinya. Artinya böwö tadi menjadi senjata ampuh yang dapat memberi peluang dan alasan kepada laki-laki untuk memperlakukan istrinya sesuka hati. Kata-kata yang sering sekali keluar ketika terjadi pertengkaran dalam keluarga adalah masalah böwö ini. Apalagi kalau keluarga tersebut sedang dalam krisis ekonomi dan dililit utang. Maka mudah sekali menimbulkan kekerasan fisik berupa penganiayaan suami terhadap istrinya. Karena ada persepektif yang mengatakan bahwa istrinya adalah haknya. Dan dalam budaya Nias, masalah keluarga itu tidak bisa dicampuri oleh siapapun, termasuk orang tua dan saudara- saudarinya. Bahkan jika kekerasan secara fisik terjadi dalam keluarga tersebut, orang lain biasanya diam saja, karena masalah keluarga adalah masalah eksklusif. Artinya bahkan jika suami membunuh istrinya sekalipun, tetangga biasanya mengatakan itu adalah urusannya dan biar dia sendiri berurusan dengan hukum.
Perspektif semacam ini cukup kental dalam budaya masyarakat Nias. Masalah keluarga adalah masalah privat. Akan tetapi, justru tradisi ini, memungkinkan terjadinya kekerasan dalam keluarga. Suami bisa berbuat sewenang-wenang terhadap anak dan istrinya. Sementara orang lain, selalu merasa tidak berdaya membantu kalau terjadi kekerasan fisik dalam keluarga orang lain. Nanti mereka bisa dituntut hukum adat. Sebab ikut campur dalam masalah keluarga orang lain itu tabu.
1.2 Perempuan sebagai „The Others“ (liyan)
Dari hasil rekap ini, penulis melihat bahwa perempuan tidak berhak atas warisan. Sebagai orang Nias asli, tidak merasa kaget melihat hasil ini. Sudah menjadi pandangan umum bahwa perempuan orang Nias itu tidak pernah mendapat warisan dari orang tuanya. Bahkan anak perempuan pun tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, hal ini telah ditegaskan oleh Pastor Otte,“ Sebab dulu perempuan itu selalu dilihat akan jadi milik orang lain (suaminya) sehingga tidak perlu pendidikan tinggi-tinggi“.[15] Dasar pemikiran seperti ini telah [16]mengakar dari sejak awalnya di masyarakat Nias. Perempuan bukanlah milik keluarga, mereka hanya numpang untuk sementara, sebab sesudah mereka besar/dewasa dan menikah mereka akan menjadi milik orang lain. Orang tua, tidak perlu menghabis-habiskan banyak uang untuk mereka.
Ini adalah perspektif primitif masyarakat Nias mengenai kedudukan perempuan. Itu juga yang menjelaskan mengapa perempuan dilihat sebagai yang lain (liyan). Hal ini ditegaskan lagi dari kutipan ini: ’Pengaruh perempuan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Nias yaitu sering dilalaikan, dinomorduakan (misalnya dalam pembagian harta), tidak diperhitungkan (misalnya bila dalam sebuah keluarga belum ada anak laki-laki, akan terus dicari sampai dapat walau sudah ada anak perempuan....seolah-olah anak perempuan bukan anak) dan masih banyak contoh lainnya.’[17] Pernyataan ini sesuai dengan teori yang ada di bab II „Anak lelaki adalah hidup itu sendiri”. Tulisan ini berasal dari salah seorang perempuan Nias yang juga mengeluhkan ketidakadilan budaya Nias. Secara tidak langsung kebudayaan Nias melihat perempuan itu bukan anak sungguhan. Hanya laki-lakilah yang disebut sebagai anak kandung. Perempuan bisa dilihat sebagai anak tiri dalam perspektif seperti ini.
Martabat perempuan dalam budaya Nias masih dianggap sangat rendah, selain dianggap bukan anak kandung, mereka juga hampir disetarakan dengan budak. Artinya hanya sebagai pembantu laki-laki. Perempuan hanya mengerjakan hal-hal yang tidak terlalu penting. Seperti dikatakan oleh salah seorang Putri Nias sendiri: “Sejauh saya tahu, peranan perempuan dalam rumah tangga orang Nias adalah mengurus anak, baik itu memasak makanan, memandikan anak, dan mengurus semua keperluannya, selain itu juga melayani suami, membersihkan rumah, mamasak, mencuci, memberi makan ternak dan berkebun".
1.3 Budaya Paternalistik yang kental
Kebudayaan Nias tak terlepas dari peranan laki-laki sebagai pembentuk dan penentu segala keputusan. Kepala keluarga secara otomatis adalah laki-laki. Semua kegiatan yang ada dimasyarakat umumnya hanya milik laki-laki. Bahkan hampir disegala lini, laki-laki memiliki pengaruh menentukan. Dominasi laki-laki dalam kebudayaan Nias tidak pernah dipetanyakan apalagi digugat. Hal itu telah menjadi lumrah dan kebenaran yang tetap. Alasan yang selalu terungkap untuk membela kedudukan laki-laki sebagai yang dominan adalah tanggungjawab. Sebagai kepala keluarga, laki-laki tidak dapat melepaskan tanggunghjawabnya dalam keluarga.
Dominasi laki-laki dalam berbagai keputusan telah menjadi kebudayaan di Nias. Seperti halnya salah seorang responden mengatakan bahwa: “Bila ada suatu keputusan dalam rumah tangga yang dominan memutuskan adalah laki-laki, selain itu perempuan harus melayani suami, padahal laki-laki tidak berbuat sebaliknya (misalnya menyiapkan makanan bila ibu tidak ada di rumah) peranan perempuan (sebagai seorang ibu) sangat kurang dihargai...“[18] budaya Paternalistik ini juga ikut menyudutkan posisi perempuan ke tempat yang tidak menguntungkan. Sebagaimana pengakuan di atas, perempuan Nias sendiri merasa diperlakukan tidak adil. Mereka menuntut keadilan, tetapi sayang suara mereka masih redup-redup. Terlalu keras bila dibenturkan dengan posisi adat istiadat yang sudah lama dipercaya sebagai budaya keramat dan tidak dapat diganggugugat lagi.
B. Aspek Positif
2.1 Perempuan mempunyai peran sentral
Dari semua yang telah diwawancarai, penulis menemukan pendapat yang sama mengenai kedudukan istimewa perempuan dalam budaya Nias. „Dalam adat, perempuan sangat dijunjung tinggi. Misalnya ya, perempuan itu memberi nasehat”. Dan ”Perempuan mengadakan “fangowai” (penghormatan) terhadap tamu”.[19] Jadi dalam beberapa hal, misalnya dalam pesta perkawinan, perempuanlah yang pertama menyambut tamu dan mereka juga yang berhak memberi nasihat pada pengantin perempuan menjelang hari pernikahannya. Jika ditinjau lebih dalam lagi, sebenarnya perempuan memiliki kuasa-kuasa tertentu yang tidak dapat digantikan oleh laki-laki, seperti halnya dalam pesta perkawinan ini. Meskipun suara perempuan tidak begitu dinomorsatukan akan tetapi didengarkan juga, ”Perempuan juga tidak bisa banyak bicara dalam adat tetapi suara ibu itu biasanya sungguh didengar.”[20] Artinya, suara ibu itu sangat berpengaruh, khusus bagi anak-anaknya sendiri. Mereka mendengarkan suara ibu karena kasih ibu itu sendiri, meskipun mereka lebih sering taat pada Ayah, karena figur otoriter yang menghukum bila tidak ditaati. Akan tetapi, jika seorang anak sudah mandiri dan tidak takut pada figur ayah, mereka akan cenderung lebih menaati Ibu daripada Ayah. ”Peranan perempuan dalam hal itu adalah sebagai seorang ibu yang mempunyai senjata kelembutan hati.”[21]
Keunggulan perempuan yang saya temukan dari hasil wawancara ini adalah perempuan itu lebih bijaksana dalam menyelesaikan masalah daripada laki-laki orang Nias. Seperti ditegaskan oleh Suster Laura: „Perempuan lebih bijaksana menyelesaikan masalah artinya dalam menyelesaikan sesuatu tidak harus dengan berkelahi“. Pernyataan ini sebenarnya mau menegaskan situasi di Pulau Nias, di mana pihak laki-laki sering berkelahi yang berujung pada kematian dua belah pihak. Maka disaat-saat seperti ini peranan perempuan sangat dibutuhkan. Sebagaimana dikatakan oleh suster Laura: perempuan bisa dikatakan sebagai penengah di antara laki-laki.
Perempuan juga memiliki pengaruh yang luarbiasa dalam budaya Nias. Perempuan itu menentukan nama baik keluarga sekaligus bisa menghancurkannya. Hal itu juga yang membuat mereka sangat dijaga sekaligus membuat mereka tidak bebas. „Perempuan itu sangat dijaga, ada ketakutan dari orang tua dan saudara-saudaranya kalau saudara mereka perempuan diganggu oleh laki-laki lain dan akibatnya mencoreng nama keluarga.”[22]
Sesungguhnya, perempuan tidak seratus persen diangap nomor dua dalam budaya Nias. Bagaimanapun peranan mereka sangat menentukan. Mungkin yang perlu dikembangkan adalah bagaimana perempuan itu diberdayakan. Perempuan Nias harus memberdayakan dirinya sendiri, baik itu melalui pendidikan maupun keterlibatan mereka dalam berbagai komunitas atau organisasi.
Kesimpulan
Setelah memahami satu per satu hasil wawancara ini, akhirnya penulis, menyimpulkan bahwa hampir semua yang diwawancarai setuju kalau kedudukan perempuan itu juga tinggi. Memang ada kontras dalam hal ini. Dalam budaya Nias, di satu sisi perempuan selalu dipandang lebih lemah dan tak terlalu penting – dalam kegiatan-kegiatan yang bernafaskan adat misalnya. Akan tetapi, disisi lain mereka ikut menentukan keputusan-keputusan penting.
Kedudukan perempuan memang rentan terhadap ketidakadilan gender. Mereka sering diperlakukan tidak sesuai dengan yang semestinya. Kalau ditelusuri lebih dalam lagi, sesungguhnya perempuan tidak ditempatkan pada posisi yang sangat rendah dalam kebudayaan. Justru dalam praktiknya, dalam perilaku sehari-hari perempuan sering mengalami kekerasan fisik dan psikis. Justru ketidakadilan ini muncul karena kedudukan mereka lemah, tidak berdaya secara fisik dan miskin secara intelektual. Akibatnya hak-hak mereka tidak diindahkan, karena mereka juga tidak tahu apa hak mereka.
Ketidakjelasan kedudukan perempuan dalam budaya Nias saat ini merupakan sebuah dilema. Ketika sebagian besar, putri-putri Nias sudah mengecam pendidikan dan sebagian lagi masih tetap hidup di zaman batu. Dan dalam situasi ini terbukti bahwa mereka yang sudah berpendidikan tinggi, jarang mengalami ketidakadilan seperti yang terjadi sebelumnya. Sebaliknya, mereka yang masih bertahan dalam situasi budaya lama, tetap saja diperlakukan tidak adil.
Daftar Pustaka
Harmmerle, P. Johannes Maria. OFMCap . 2001. Asal Usul Masyarakat Nias – suatu Interpretasi.Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias
Sumardjo, Jacob. 2006. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press
Kompas, 15 April 2008
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia Indonesia
Tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2006/11/25/brk,20061125-88428 Sabtu 25 November 2006
htt://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/04/humaniora/3002327.htm
[1] Tempointeraktif, (http:// www. Tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2006/11/25/brk,20061125-88428 Sabtu 25 November 2006
[2] htt://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/04/humaniora/3002327.htm
[3] Sumber dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia Indonesia
[4] Sumber dari buku: P. Johannes Maria Harmmerle, OFMCap, Asal Usul Masyarakat Nias – suatu Interpretasi, (Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias, 2001), hlm 42-43.
[5] Ibid.,
[6] Ibid., hlm 44
[7] Kompas, 15 April 2008
[8] Jacob Sumardjom, Estetika Paradoks, (Bandung: Sunan Ambu Press, 2006), hlm. 33
[9] Ibid.,
[10] Ibid.,
[11] Ibid., 5 April 2008
[12] Akibat dari adat ini adalah adalah perempuan diperlakukan tidak adil oleh suaminya. Suami memiliki hak untuk melakukan kekerasa secara fisik kepada isterinya. Bahkan ketika perempuan kembali ke rumah orang tuanya karena tidak tahan lagi. Orang tuanya bersama-sama dengan anak perempuan mereka dibawa kembali kepada suaminya. Dan mereka meminta maaf atas ulah putri mereka yang tidak taat pada suami. Sesuatu yang tidak adil.
[13] Harmmerle, Op.Cit., hlm 46
[14] Sr. Rafaela SCMM, Paroki Teluk Dalam, Nias Selatan
[15] Rekap hasil wawancara dengan Pastor Otte
[16] Rekap dari, Suster Sr. Ricarda FJCM dari Paroki St. Maria Togizita Nias Tengah Kec. Lolo wa
[17] Sr. Laura Zalukhu
[18] Ibid.,
[19] Hasil wawancara dari Pastor Otte
[20] Ibid.,
[21] Sr. Ricarda FJCM
[22] Pst. Otte
Analisis
Setelah melihat hasil wawancara yang tertera dalam rekap hasil wawancara dalam bab III, ada beberapa hal yang perlu dianalisis. Penulis membaginya dalam dua bagan besar yaitu:
A. Aspek Negatif
1. 1. Perempuan sebagai nomor dua
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkan bahwa, semua yang diwawancarai setuju kalau perempuan dalam budaya Nias itu berada di posisi kedua. Bahkan dalam wawancara yang penulis lakukan dengan Pastor Otte, beliau mengatakan bahwa, perempuan dalam budaya Nias diperlakukan hampir sama dengan barang. Bedanya, perempuan itu lebih tinggi setingkat daripada harta benda. Itu berarti perempuan berada diposisi lebih rendah daripada laki-laki. Karena berada diposisi lebih rendah, kerapkali perempuan diperlakukan tidak adil. Seperti data yang dilaporkan dalam Koran Kompas, yang telah dikutip oleh penulis di bab II, nampak perempuan sering dijadikan tempat/objek kekerasan fisik dan mental. Perempuan misalnya tidak bisa menjawab kata-kata suaminya atau kalau dia masih gadis, ayah dan saudara laki-lakinya. Meskipun apa yang dikatakan itu tidak benar dan menyakitkan, anak perempuan harus menerimanya dengan lapang dada dan membenarkan semua perkataan tersebut. Hal itu dipertegas lagi oleh responden lainnya: Posisi perempuan dalam budaya Nias adalah hanya sebagai nomor dua, tidak terlalu diharapkan apalagi dalam mementukan hukum adat.[14]
Perempuan bisa diperlakukan sama seperti halnya barang. Di Nias sendiri, perempuan itu dibayar sebelum menikah. Ada istilah böwö (jujuran). Dan biasanya böwö ini dibayar dalam jumlah yang besar. Bahkan sering terlihat, ada orang yang tidak sanggup lagi membayar utang karena sebelumnya mereka meminjam uang untuk membayar jujuran nikah. Dan sesudah menikah, utang itu tidak sanggup dilunasi sampai mereka masuk ke liang kubur. Hal itulah, yang menentukan mengapa perlakuan terhadap perempuan tidak adil. Biasanya, perempuan sering dikambinghitamkan sebagai sumber utang, yang membuat keluarga sengsara. Maka ketika mereka mendapat perlakuan kasar secara fisik dianggap tidak begitu berharga dibanding dengan uang jujuran yang telah dibayarkan kepada orang tuanya.
Salah satu faktor yang membuat perempuan sebagai nomor dua adalah adat perkawinan. Sebab böwö (jujuran) tadi, seolah-olah menerapkan pandangan bahwa perempuan itu sudah sah menjadi milik suaminya jika semua persyaratan ini sudah dapat dipenuhinya. Artinya böwö tadi menjadi senjata ampuh yang dapat memberi peluang dan alasan kepada laki-laki untuk memperlakukan istrinya sesuka hati. Kata-kata yang sering sekali keluar ketika terjadi pertengkaran dalam keluarga adalah masalah böwö ini. Apalagi kalau keluarga tersebut sedang dalam krisis ekonomi dan dililit utang. Maka mudah sekali menimbulkan kekerasan fisik berupa penganiayaan suami terhadap istrinya. Karena ada persepektif yang mengatakan bahwa istrinya adalah haknya. Dan dalam budaya Nias, masalah keluarga itu tidak bisa dicampuri oleh siapapun, termasuk orang tua dan saudara- saudarinya. Bahkan jika kekerasan secara fisik terjadi dalam keluarga tersebut, orang lain biasanya diam saja, karena masalah keluarga adalah masalah eksklusif. Artinya bahkan jika suami membunuh istrinya sekalipun, tetangga biasanya mengatakan itu adalah urusannya dan biar dia sendiri berurusan dengan hukum.
Perspektif semacam ini cukup kental dalam budaya masyarakat Nias. Masalah keluarga adalah masalah privat. Akan tetapi, justru tradisi ini, memungkinkan terjadinya kekerasan dalam keluarga. Suami bisa berbuat sewenang-wenang terhadap anak dan istrinya. Sementara orang lain, selalu merasa tidak berdaya membantu kalau terjadi kekerasan fisik dalam keluarga orang lain. Nanti mereka bisa dituntut hukum adat. Sebab ikut campur dalam masalah keluarga orang lain itu tabu.
1.2 Perempuan sebagai „The Others“ (liyan)
Dari hasil rekap ini, penulis melihat bahwa perempuan tidak berhak atas warisan. Sebagai orang Nias asli, tidak merasa kaget melihat hasil ini. Sudah menjadi pandangan umum bahwa perempuan orang Nias itu tidak pernah mendapat warisan dari orang tuanya. Bahkan anak perempuan pun tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, hal ini telah ditegaskan oleh Pastor Otte,“ Sebab dulu perempuan itu selalu dilihat akan jadi milik orang lain (suaminya) sehingga tidak perlu pendidikan tinggi-tinggi“.[15] Dasar pemikiran seperti ini telah [16]mengakar dari sejak awalnya di masyarakat Nias. Perempuan bukanlah milik keluarga, mereka hanya numpang untuk sementara, sebab sesudah mereka besar/dewasa dan menikah mereka akan menjadi milik orang lain. Orang tua, tidak perlu menghabis-habiskan banyak uang untuk mereka.
Ini adalah perspektif primitif masyarakat Nias mengenai kedudukan perempuan. Itu juga yang menjelaskan mengapa perempuan dilihat sebagai yang lain (liyan). Hal ini ditegaskan lagi dari kutipan ini: ’Pengaruh perempuan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Nias yaitu sering dilalaikan, dinomorduakan (misalnya dalam pembagian harta), tidak diperhitungkan (misalnya bila dalam sebuah keluarga belum ada anak laki-laki, akan terus dicari sampai dapat walau sudah ada anak perempuan....seolah-olah anak perempuan bukan anak) dan masih banyak contoh lainnya.’[17] Pernyataan ini sesuai dengan teori yang ada di bab II „Anak lelaki adalah hidup itu sendiri”. Tulisan ini berasal dari salah seorang perempuan Nias yang juga mengeluhkan ketidakadilan budaya Nias. Secara tidak langsung kebudayaan Nias melihat perempuan itu bukan anak sungguhan. Hanya laki-lakilah yang disebut sebagai anak kandung. Perempuan bisa dilihat sebagai anak tiri dalam perspektif seperti ini.
Martabat perempuan dalam budaya Nias masih dianggap sangat rendah, selain dianggap bukan anak kandung, mereka juga hampir disetarakan dengan budak. Artinya hanya sebagai pembantu laki-laki. Perempuan hanya mengerjakan hal-hal yang tidak terlalu penting. Seperti dikatakan oleh salah seorang Putri Nias sendiri: “Sejauh saya tahu, peranan perempuan dalam rumah tangga orang Nias adalah mengurus anak, baik itu memasak makanan, memandikan anak, dan mengurus semua keperluannya, selain itu juga melayani suami, membersihkan rumah, mamasak, mencuci, memberi makan ternak dan berkebun".
1.3 Budaya Paternalistik yang kental
Kebudayaan Nias tak terlepas dari peranan laki-laki sebagai pembentuk dan penentu segala keputusan. Kepala keluarga secara otomatis adalah laki-laki. Semua kegiatan yang ada dimasyarakat umumnya hanya milik laki-laki. Bahkan hampir disegala lini, laki-laki memiliki pengaruh menentukan. Dominasi laki-laki dalam kebudayaan Nias tidak pernah dipetanyakan apalagi digugat. Hal itu telah menjadi lumrah dan kebenaran yang tetap. Alasan yang selalu terungkap untuk membela kedudukan laki-laki sebagai yang dominan adalah tanggungjawab. Sebagai kepala keluarga, laki-laki tidak dapat melepaskan tanggunghjawabnya dalam keluarga.
Dominasi laki-laki dalam berbagai keputusan telah menjadi kebudayaan di Nias. Seperti halnya salah seorang responden mengatakan bahwa: “Bila ada suatu keputusan dalam rumah tangga yang dominan memutuskan adalah laki-laki, selain itu perempuan harus melayani suami, padahal laki-laki tidak berbuat sebaliknya (misalnya menyiapkan makanan bila ibu tidak ada di rumah) peranan perempuan (sebagai seorang ibu) sangat kurang dihargai...“[18] budaya Paternalistik ini juga ikut menyudutkan posisi perempuan ke tempat yang tidak menguntungkan. Sebagaimana pengakuan di atas, perempuan Nias sendiri merasa diperlakukan tidak adil. Mereka menuntut keadilan, tetapi sayang suara mereka masih redup-redup. Terlalu keras bila dibenturkan dengan posisi adat istiadat yang sudah lama dipercaya sebagai budaya keramat dan tidak dapat diganggugugat lagi.
B. Aspek Positif
2.1 Perempuan mempunyai peran sentral
Dari semua yang telah diwawancarai, penulis menemukan pendapat yang sama mengenai kedudukan istimewa perempuan dalam budaya Nias. „Dalam adat, perempuan sangat dijunjung tinggi. Misalnya ya, perempuan itu memberi nasehat”. Dan ”Perempuan mengadakan “fangowai” (penghormatan) terhadap tamu”.[19] Jadi dalam beberapa hal, misalnya dalam pesta perkawinan, perempuanlah yang pertama menyambut tamu dan mereka juga yang berhak memberi nasihat pada pengantin perempuan menjelang hari pernikahannya. Jika ditinjau lebih dalam lagi, sebenarnya perempuan memiliki kuasa-kuasa tertentu yang tidak dapat digantikan oleh laki-laki, seperti halnya dalam pesta perkawinan ini. Meskipun suara perempuan tidak begitu dinomorsatukan akan tetapi didengarkan juga, ”Perempuan juga tidak bisa banyak bicara dalam adat tetapi suara ibu itu biasanya sungguh didengar.”[20] Artinya, suara ibu itu sangat berpengaruh, khusus bagi anak-anaknya sendiri. Mereka mendengarkan suara ibu karena kasih ibu itu sendiri, meskipun mereka lebih sering taat pada Ayah, karena figur otoriter yang menghukum bila tidak ditaati. Akan tetapi, jika seorang anak sudah mandiri dan tidak takut pada figur ayah, mereka akan cenderung lebih menaati Ibu daripada Ayah. ”Peranan perempuan dalam hal itu adalah sebagai seorang ibu yang mempunyai senjata kelembutan hati.”[21]
Keunggulan perempuan yang saya temukan dari hasil wawancara ini adalah perempuan itu lebih bijaksana dalam menyelesaikan masalah daripada laki-laki orang Nias. Seperti ditegaskan oleh Suster Laura: „Perempuan lebih bijaksana menyelesaikan masalah artinya dalam menyelesaikan sesuatu tidak harus dengan berkelahi“. Pernyataan ini sebenarnya mau menegaskan situasi di Pulau Nias, di mana pihak laki-laki sering berkelahi yang berujung pada kematian dua belah pihak. Maka disaat-saat seperti ini peranan perempuan sangat dibutuhkan. Sebagaimana dikatakan oleh suster Laura: perempuan bisa dikatakan sebagai penengah di antara laki-laki.
Perempuan juga memiliki pengaruh yang luarbiasa dalam budaya Nias. Perempuan itu menentukan nama baik keluarga sekaligus bisa menghancurkannya. Hal itu juga yang membuat mereka sangat dijaga sekaligus membuat mereka tidak bebas. „Perempuan itu sangat dijaga, ada ketakutan dari orang tua dan saudara-saudaranya kalau saudara mereka perempuan diganggu oleh laki-laki lain dan akibatnya mencoreng nama keluarga.”[22]
Sesungguhnya, perempuan tidak seratus persen diangap nomor dua dalam budaya Nias. Bagaimanapun peranan mereka sangat menentukan. Mungkin yang perlu dikembangkan adalah bagaimana perempuan itu diberdayakan. Perempuan Nias harus memberdayakan dirinya sendiri, baik itu melalui pendidikan maupun keterlibatan mereka dalam berbagai komunitas atau organisasi.
Kesimpulan
Setelah memahami satu per satu hasil wawancara ini, akhirnya penulis, menyimpulkan bahwa hampir semua yang diwawancarai setuju kalau kedudukan perempuan itu juga tinggi. Memang ada kontras dalam hal ini. Dalam budaya Nias, di satu sisi perempuan selalu dipandang lebih lemah dan tak terlalu penting – dalam kegiatan-kegiatan yang bernafaskan adat misalnya. Akan tetapi, disisi lain mereka ikut menentukan keputusan-keputusan penting.
Kedudukan perempuan memang rentan terhadap ketidakadilan gender. Mereka sering diperlakukan tidak sesuai dengan yang semestinya. Kalau ditelusuri lebih dalam lagi, sesungguhnya perempuan tidak ditempatkan pada posisi yang sangat rendah dalam kebudayaan. Justru dalam praktiknya, dalam perilaku sehari-hari perempuan sering mengalami kekerasan fisik dan psikis. Justru ketidakadilan ini muncul karena kedudukan mereka lemah, tidak berdaya secara fisik dan miskin secara intelektual. Akibatnya hak-hak mereka tidak diindahkan, karena mereka juga tidak tahu apa hak mereka.
Ketidakjelasan kedudukan perempuan dalam budaya Nias saat ini merupakan sebuah dilema. Ketika sebagian besar, putri-putri Nias sudah mengecam pendidikan dan sebagian lagi masih tetap hidup di zaman batu. Dan dalam situasi ini terbukti bahwa mereka yang sudah berpendidikan tinggi, jarang mengalami ketidakadilan seperti yang terjadi sebelumnya. Sebaliknya, mereka yang masih bertahan dalam situasi budaya lama, tetap saja diperlakukan tidak adil.
Daftar Pustaka
Harmmerle, P. Johannes Maria. OFMCap . 2001. Asal Usul Masyarakat Nias – suatu Interpretasi.Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias
Sumardjo, Jacob. 2006. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press
Kompas, 15 April 2008
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia Indonesia
Tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2006/11/25/brk,20061125-88428 Sabtu 25 November 2006
htt://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/04/humaniora/3002327.htm
[1] Tempointeraktif, (http:// www. Tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2006/11/25/brk,20061125-88428 Sabtu 25 November 2006
[2] htt://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/04/humaniora/3002327.htm
[3] Sumber dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia Indonesia
[4] Sumber dari buku: P. Johannes Maria Harmmerle, OFMCap, Asal Usul Masyarakat Nias – suatu Interpretasi, (Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias, 2001), hlm 42-43.
[5] Ibid.,
[6] Ibid., hlm 44
[7] Kompas, 15 April 2008
[8] Jacob Sumardjom, Estetika Paradoks, (Bandung: Sunan Ambu Press, 2006), hlm. 33
[9] Ibid.,
[10] Ibid.,
[11] Ibid., 5 April 2008
[12] Akibat dari adat ini adalah adalah perempuan diperlakukan tidak adil oleh suaminya. Suami memiliki hak untuk melakukan kekerasa secara fisik kepada isterinya. Bahkan ketika perempuan kembali ke rumah orang tuanya karena tidak tahan lagi. Orang tuanya bersama-sama dengan anak perempuan mereka dibawa kembali kepada suaminya. Dan mereka meminta maaf atas ulah putri mereka yang tidak taat pada suami. Sesuatu yang tidak adil.
[13] Harmmerle, Op.Cit., hlm 46
[14] Sr. Rafaela SCMM, Paroki Teluk Dalam, Nias Selatan
[15] Rekap hasil wawancara dengan Pastor Otte
[16] Rekap dari, Suster Sr. Ricarda FJCM dari Paroki St. Maria Togizita Nias Tengah Kec. Lolo wa
[17] Sr. Laura Zalukhu
[18] Ibid.,
[19] Hasil wawancara dari Pastor Otte
[20] Ibid.,
[21] Sr. Ricarda FJCM
[22] Pst. Otte
1 komentar:
terima kasih atas tulisannya. Berguna sekali untuk tugas mata kuliah antropologi saya.
salam
yudhawp_2004@yahoo.com
Posting Komentar