By Noverius Laoli
Sekularisme perlu dalam konteks masyarakat modern yang majemuk, dan ada kalanya ia perlu mengintervensi kebijakan agama yang tidak toleran.[1] Pengakuan dan penghargaan terhadap kemajemukan masyarakat modern adalah penting sejauh itu bersifat konstruktif. Lebih daripada itu, sekularisme mengarahkan kita pada bentuk masyarakat terbuka. Artinya masyarakat yang inklusif, menerima sesuatu yang liyan menjadi bagian dari dirinya. Oleh karena itu, sekularisme harus tetap dipertahankan agar potensi otoritarianisme yang terkandung begitu kuat di dalam agama, tidak menyatu dengan kecenderungan otoritarianisme yang mewatak pada kekuasaan bersama negara.[2]
Apa itu sekularisme
Sekularisme berasal dari kata latin saeculum yang berarti ‘abad’ dan ‘dunia’. Maka sekularisme adalah paham yang memfokuskan diri pada masalah-masalah duniawi saja. Dengan kata lain, sekularisme adalah terlepasnya manusia dari ortodoksi dan pendiktean dogma-dogma religius yang suci. Sebenarnya gerakan ini sudah muncul di abad pertengahan. Akan tetapi gaungannya masih lemah karena masih sering ditekan oleh otoritas gereja yang berkuasa. Memasuki zaman Renesans, orang-orang yang mengalihkan perhatiannya dari agama mulai secara terang-terangan mengkritik kebobrokan gereja.
George Jacob Holyoake (1817-1906) adalah orang pertama secara resmi yang mengemukakan sekularisme sebagai sistem etika dan filsafat. Menurutnya kebebasan berpikir adalah hak setiap individu. Setiap orang berhak mengemukakan gagasannya secara berbeda. Pemikiran ini sesuai dengan istilah Immanuel Kant yang sangat populer, sapere aude (berani berpikir sendiri). Pada titik ini terjadi perubahan paradigma. Kalau sebelumnya setiap orang selalu berpikir seragam, sekarang setiap orang berpikir secara berbeda sesuai dengan pemahaman dan kepentingannya. Adalah hak setiap orang untuk merumuskan dirinya dalam dunia modern yang plural ini. Bagaimanapun, perbedaan adalah kekhasan setiap bangsa dan agama. Tanpa adanya pengakuan terhadap perbedaan niscaya dunia manusia akan mengalami perkembangan dan terciptanya hidup yang damai dan rukun di setiap komunitas dan kelompok.
Sekularisme selalu bersifat open-ended. Artinya menunjukkan keterbukaan dan kebebasan bagi setiap manusia untuk bertindak dan bertanggungjawab. Karena itu, sekularisme bersifat dinamis dan cenderung membawa pada pembaruan dan perubahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika seseorang keluar dari ajaran dan tradisi yang telah dianggap menjadi dogma. Sekularisme mengamalkan masyarakat terbuka yang lebih demokratis, masyarakat yang taat secara kritis dan bertanggungjawab. Sebaliknya sekularisme berusaha mengintervensi ajaran-ajaran agama yang mengekang kebebasan manusia. Sekularisme menciptakan kondisi masyarakat yang terbuka dan toleran pada perberbedaan.
Dalam istilah Goenawan Mohamad, perlu ada iman yang mengakui kebesaran Tuhan sembari terus menegaskan otonomi manusia. Otonomi inilah yang perlu ditekankan dalam pemahaman sekularisme. Adalah penting bagi setiap individu untuk mengembankan otonomi dirinya sebagai subjek yang mandiri dan bebas tanpa intervensi dan acaman dari pihak luar termasuk ajaran-ajaran agama yang sifatnya mengkerangkeng kebebasan tersebut. Dan masyarakat terbuka memberi peluang untuk menegaskan otonomi individu .
Sekularisme vs Revivalisme
Revivalisme yang muncul adalah respon terhadap sekularisme. Seruan agar kembali kepada ajaran agama yang murni kembali digaungkan. Dalam pengertian Goenawan Mohamad, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung kembalinya keimanan ke dalam “keaslian” iman yang semestinya, “keaslian” yang dimaksud adalah “kemurnian” teks. Gerakan ini muncul karena agama menemukan dirinya bukan lagi menjadi satu-satunya penjaga kebenaran dan keadilan. Kaum revivalis beramai-ramai menyerukan kembalinya ke teks-teks Kitab Suci yang murni. Tetapi mereka juga lupa bahwa teks-teks kitab suci yang murni itu, begitu rentan terhadap kemelesetan bahasa yang sangat sulit dihindari. Hal lain yang tidak disadari adalah teks-teks suci dan murni itu juga diterapkan oleh manusia dalam dunia (manusia) yang tidak terbebas dari unsur kepentingan.
Bagi kaum revivalis, dunia ini telah dipenuhi oleh tumor-tumor ganas dari gerakan sekularisme yang berkembang begitu cepat di seluruh penjuru dunia. Mereka tidak berhenti mengumandangkan bahwa dunia ini tidak akan hancur dan menderita total, sepanjang mereka yang menjadi dokternya. Melihat situasi ini, mereka sesungguhnya telah mengalami trauma besar, sebab gerakan itu adalah tanda kegelisahan dan ketakutan, seolah-olah sekularisme adalah musuh yang harus dihabisi tanpa banyak pertingsih. Bagi kaum revivalis, sekularisme adalah musuh besar agama, karena itu harus dibasmi habis. Sepertinya tidak ada yang baik dalam sekularisme.
Kendati agama menyebut dirinya sakral, ia juga mendapatkan bahwa dirinya secara perlahan-lahan telah disingkirkan dari percaturan dunia. Agama bukan lagi satu-satunya hakim yang dapat memutuskan keadilan dan kebenaran. Agama telah menjadi salah satu bagian dari banyak institusi yang mengklaim diri sebagai bagian dari dunia. Agama telah setara dengan institusi-institusi lainnya yang sifatnya sekular dan profan. Gerakan sekularisme sumbangan Barat ini telah menjadi gagasan universal yang menerabas batas-batas geografis dan kultur. Akhirnya sekulrisme pun berubah wajah. Ia memiliki seribu wajah. Di setiap negara dan bangsa, mengalami multitafsir dan makna, di India misalnya, bentuknya berbeda dengan model liberal Barat yang tidak mengenal komunitas-komunitas, dan memaksakan pemisahan tegas antara lembaga agama dan lembaga politik.
Alhasil sekularisme telah mengalami tafsir yang beragam dan berubah dari waktu ke waktu. Sekularisme tidak bisa lagi dipandang sebagaimana sekularisme di Barat. Tetapi sekularisme selalu mengadakan kompromi dan negosiasi dengan kultur setempat. Artinya setiap kultur menginterpretasi sekularisme sesuai dengan kebutuhan mereka. Dan setiap interpretasi selalu melahirkan interpretasi baru dan seterusnya. Sekularisme pada akhirnya selalu mengalami perubahan pemahaman dan penerapan di setiap bangsa.
Meskipun demikian, esensinya tetap sama yaitu pemisahan yang jelas antara urusan negara dan agama. Urusan politik dan negara harus terbebas dari bayang-bayang doktrinasi agama dan sebaliknya setiap negara menghargai dan melindungi kebebasan masyarakat dalam menjalankan agamanya. Jadi Negara sekular bukanlah anti-agama, namun ia akan hadir dan tetap hidup hanya manakala agama tidak lagi berperan. Ia mengakui kesetaraan yang lebih umum antara para pemeluk agama dan bukan pemeluk agama. Ia menjamin kebebasan bagi semua agama, juga kebebasan dari agama itu sendiri (Rajev Bhargava, 2006: 124). Kebebasan adalah slogan dari sekularisme, tapi bukan bebas dari tanggungjawab tetapi bebas untuk memilih dan merumuskan gagasannya sendiri. Sekularisme membuka sekat-sekat masyarakat, agama dan negara yang bertendensi ke arah ekslusifisme. Sekularisme menata kembali hubungan negara, agama dan masyarakat dalam mengarahkan perjalanan sejarah umat manusia dipelbagai belahan dunia.
[1] Novriantoni (penyunting), Sepatah “Kata Kotor” Sekularisme di Asia, (Jakarta: Yayasan Kalam, 2006), hlm. 10
[2] Ibid., hlm. 11
Sekularisme perlu dalam konteks masyarakat modern yang majemuk, dan ada kalanya ia perlu mengintervensi kebijakan agama yang tidak toleran.[1] Pengakuan dan penghargaan terhadap kemajemukan masyarakat modern adalah penting sejauh itu bersifat konstruktif. Lebih daripada itu, sekularisme mengarahkan kita pada bentuk masyarakat terbuka. Artinya masyarakat yang inklusif, menerima sesuatu yang liyan menjadi bagian dari dirinya. Oleh karena itu, sekularisme harus tetap dipertahankan agar potensi otoritarianisme yang terkandung begitu kuat di dalam agama, tidak menyatu dengan kecenderungan otoritarianisme yang mewatak pada kekuasaan bersama negara.[2]
Apa itu sekularisme
Sekularisme berasal dari kata latin saeculum yang berarti ‘abad’ dan ‘dunia’. Maka sekularisme adalah paham yang memfokuskan diri pada masalah-masalah duniawi saja. Dengan kata lain, sekularisme adalah terlepasnya manusia dari ortodoksi dan pendiktean dogma-dogma religius yang suci. Sebenarnya gerakan ini sudah muncul di abad pertengahan. Akan tetapi gaungannya masih lemah karena masih sering ditekan oleh otoritas gereja yang berkuasa. Memasuki zaman Renesans, orang-orang yang mengalihkan perhatiannya dari agama mulai secara terang-terangan mengkritik kebobrokan gereja.
George Jacob Holyoake (1817-1906) adalah orang pertama secara resmi yang mengemukakan sekularisme sebagai sistem etika dan filsafat. Menurutnya kebebasan berpikir adalah hak setiap individu. Setiap orang berhak mengemukakan gagasannya secara berbeda. Pemikiran ini sesuai dengan istilah Immanuel Kant yang sangat populer, sapere aude (berani berpikir sendiri). Pada titik ini terjadi perubahan paradigma. Kalau sebelumnya setiap orang selalu berpikir seragam, sekarang setiap orang berpikir secara berbeda sesuai dengan pemahaman dan kepentingannya. Adalah hak setiap orang untuk merumuskan dirinya dalam dunia modern yang plural ini. Bagaimanapun, perbedaan adalah kekhasan setiap bangsa dan agama. Tanpa adanya pengakuan terhadap perbedaan niscaya dunia manusia akan mengalami perkembangan dan terciptanya hidup yang damai dan rukun di setiap komunitas dan kelompok.
Sekularisme selalu bersifat open-ended. Artinya menunjukkan keterbukaan dan kebebasan bagi setiap manusia untuk bertindak dan bertanggungjawab. Karena itu, sekularisme bersifat dinamis dan cenderung membawa pada pembaruan dan perubahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika seseorang keluar dari ajaran dan tradisi yang telah dianggap menjadi dogma. Sekularisme mengamalkan masyarakat terbuka yang lebih demokratis, masyarakat yang taat secara kritis dan bertanggungjawab. Sebaliknya sekularisme berusaha mengintervensi ajaran-ajaran agama yang mengekang kebebasan manusia. Sekularisme menciptakan kondisi masyarakat yang terbuka dan toleran pada perberbedaan.
Dalam istilah Goenawan Mohamad, perlu ada iman yang mengakui kebesaran Tuhan sembari terus menegaskan otonomi manusia. Otonomi inilah yang perlu ditekankan dalam pemahaman sekularisme. Adalah penting bagi setiap individu untuk mengembankan otonomi dirinya sebagai subjek yang mandiri dan bebas tanpa intervensi dan acaman dari pihak luar termasuk ajaran-ajaran agama yang sifatnya mengkerangkeng kebebasan tersebut. Dan masyarakat terbuka memberi peluang untuk menegaskan otonomi individu .
Sekularisme vs Revivalisme
Revivalisme yang muncul adalah respon terhadap sekularisme. Seruan agar kembali kepada ajaran agama yang murni kembali digaungkan. Dalam pengertian Goenawan Mohamad, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung kembalinya keimanan ke dalam “keaslian” iman yang semestinya, “keaslian” yang dimaksud adalah “kemurnian” teks. Gerakan ini muncul karena agama menemukan dirinya bukan lagi menjadi satu-satunya penjaga kebenaran dan keadilan. Kaum revivalis beramai-ramai menyerukan kembalinya ke teks-teks Kitab Suci yang murni. Tetapi mereka juga lupa bahwa teks-teks kitab suci yang murni itu, begitu rentan terhadap kemelesetan bahasa yang sangat sulit dihindari. Hal lain yang tidak disadari adalah teks-teks suci dan murni itu juga diterapkan oleh manusia dalam dunia (manusia) yang tidak terbebas dari unsur kepentingan.
Bagi kaum revivalis, dunia ini telah dipenuhi oleh tumor-tumor ganas dari gerakan sekularisme yang berkembang begitu cepat di seluruh penjuru dunia. Mereka tidak berhenti mengumandangkan bahwa dunia ini tidak akan hancur dan menderita total, sepanjang mereka yang menjadi dokternya. Melihat situasi ini, mereka sesungguhnya telah mengalami trauma besar, sebab gerakan itu adalah tanda kegelisahan dan ketakutan, seolah-olah sekularisme adalah musuh yang harus dihabisi tanpa banyak pertingsih. Bagi kaum revivalis, sekularisme adalah musuh besar agama, karena itu harus dibasmi habis. Sepertinya tidak ada yang baik dalam sekularisme.
Kendati agama menyebut dirinya sakral, ia juga mendapatkan bahwa dirinya secara perlahan-lahan telah disingkirkan dari percaturan dunia. Agama bukan lagi satu-satunya hakim yang dapat memutuskan keadilan dan kebenaran. Agama telah menjadi salah satu bagian dari banyak institusi yang mengklaim diri sebagai bagian dari dunia. Agama telah setara dengan institusi-institusi lainnya yang sifatnya sekular dan profan. Gerakan sekularisme sumbangan Barat ini telah menjadi gagasan universal yang menerabas batas-batas geografis dan kultur. Akhirnya sekulrisme pun berubah wajah. Ia memiliki seribu wajah. Di setiap negara dan bangsa, mengalami multitafsir dan makna, di India misalnya, bentuknya berbeda dengan model liberal Barat yang tidak mengenal komunitas-komunitas, dan memaksakan pemisahan tegas antara lembaga agama dan lembaga politik.
Alhasil sekularisme telah mengalami tafsir yang beragam dan berubah dari waktu ke waktu. Sekularisme tidak bisa lagi dipandang sebagaimana sekularisme di Barat. Tetapi sekularisme selalu mengadakan kompromi dan negosiasi dengan kultur setempat. Artinya setiap kultur menginterpretasi sekularisme sesuai dengan kebutuhan mereka. Dan setiap interpretasi selalu melahirkan interpretasi baru dan seterusnya. Sekularisme pada akhirnya selalu mengalami perubahan pemahaman dan penerapan di setiap bangsa.
Meskipun demikian, esensinya tetap sama yaitu pemisahan yang jelas antara urusan negara dan agama. Urusan politik dan negara harus terbebas dari bayang-bayang doktrinasi agama dan sebaliknya setiap negara menghargai dan melindungi kebebasan masyarakat dalam menjalankan agamanya. Jadi Negara sekular bukanlah anti-agama, namun ia akan hadir dan tetap hidup hanya manakala agama tidak lagi berperan. Ia mengakui kesetaraan yang lebih umum antara para pemeluk agama dan bukan pemeluk agama. Ia menjamin kebebasan bagi semua agama, juga kebebasan dari agama itu sendiri (Rajev Bhargava, 2006: 124). Kebebasan adalah slogan dari sekularisme, tapi bukan bebas dari tanggungjawab tetapi bebas untuk memilih dan merumuskan gagasannya sendiri. Sekularisme membuka sekat-sekat masyarakat, agama dan negara yang bertendensi ke arah ekslusifisme. Sekularisme menata kembali hubungan negara, agama dan masyarakat dalam mengarahkan perjalanan sejarah umat manusia dipelbagai belahan dunia.
[1] Novriantoni (penyunting), Sepatah “Kata Kotor” Sekularisme di Asia, (Jakarta: Yayasan Kalam, 2006), hlm. 10
[2] Ibid., hlm. 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar