Selasa, 25 November 2008

Confucius, Si Manusia Unggul

By. Noverius Laoli

“Orang yang memiliki integritas akan melakukan segala hal dengan cara yang berbeda” (Confucius)

Confucius, si Suhu Miskin yang hidup pada abad ke 6 Sebelum Masehi dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di wilayah pesisir utara-tengah Cina adalah seorang Guru Bijaksana dari Cina. Confucius tahu semua hal tentang hidup, ia mewariskan kepada kita bagaimana cara berperilaku.

Confucius dilahirkan pada tahun 551 Sebelum Masehi di negara feodal Lu, yang sekarang menjadi bagian dari propinsi utara-tengah Shantung. Ayah Confucius adalah seorang pejabat militer rendahan dan telah berusia tujuh puluh tahun ketika Confucius dilahirkan. Ketika Confucius berusia tiga tahun, ayahnya meninggal dan ia pun dibesarkan oleh ibunya. Di akhir hidupnya, Confucius memberikan catatan tentang masa remajanya, “Ketika aku berusia lima belas tahun, aku hanya tertarik untuk belajar,” Inilah fondasi kokoh kehidupannya yang kelak dilihatnya bisa dibagi menjadi sejumlah tahap: …”Pada waktu aku berumur tiga puluh, aku memulai hidupku; dan ketika umurku mencapai empat puluh, aku yakin dengan semua yang aku percaya; pada usia lima puluh, aku telah mengerti keberadaanku dalam segala hal; pada umur enam puluh tahun, aku tahu tak ada perlunya berdalih; dan sekarang, pada saat usiaku telah mencapai tujuh puluh tahun, aku pun dapat melakukan apapun tanpa menganggu hidupku.” (Paul Strathern: 5)

Situasi kehidupan pada zaman Confucius dipenuhi dengan kegetiran yang terjadi di mana-mana. Kondisi yang tidak kondusif ini berdampak bagi Confucius muda. Ia tumbuh menjadi seorang yang tegar dan selalu berpikir praktis dalam hidupnya. Situasi ini jugalah yang membuat Confucius dikenal sebagai seorang pemikir pragmatis. Menanggapi situasi ini, Confucius akhirnya memahami bahwa semua penderitaan yang “tersembunyi” ini hanya bisa dihentikan apabila seluruh pemikiran masyarakat Cina diubah. Caranya adalah dengan mengubah tujuan keberadaan suatu masyarakat, tetapi masyarakat itu sendiri tidak perlu berubah. “Para penguasa harus menjalankan pemerintahan dan para pengawai dalam pemerintahan harus melaksanakan tugas-tugas mereka, seperti halnya seorang ayah harus bertindak sebagai ayah bagi anak-anaknya.” Sebab jika pemerintah bukan lagi pemerintah; rakyatnya tidak lagi rakyat; ayah bukan lagi ayah; anak bukan lagi anak, maka kita tidak dapat mengandalkan apapun dan siapapun lagi, artinya negeri itu pun akan hancur.

Mengabdi Pengetahuan
Sejak kecil Confucius dikenal sebagai seorang yang rajin belajar, hal ini dipertegas pada pernyataanya bahwa “ketika berumur lima belas tahun, aku hanya tertarik untuk belajar”. Confucius mempelajari sejarah, musik, dan liturgi/ritus. Dengan segera ia dikenal sebagai orang terpelajar di Lu. Semangatnya sebagai pembelajar yang tekun, terlihat dari pribadinya yang ambisius. “ I silently accumulate knowledge; I study and do not get bored; I teach others and do not grow weary – for these things come naturally to me” (Raymond Dawson: 9) Dengan rajin belajar Confucius berharap bahwa pada suatu saat dia akan mendapatkan posisi yang tinggi di pemerintahan agar gagasan-gagasnnya dapat direaliasisikan. Namun sayang, para penguasa pada zaman itu lebih senang berpesta pora daripada menerima Confucius yang bertentangan dengan pola hidup mereka.

Meskipun gagal memasuki pemerintahan, Confucius tidak menyerah. Ia membagikan pemikirannya lewat pendidikan. Jika pada masa itu sekolah-sekolah mengajarkan berbagai etiket dan ritual istana agar bisa menjadi pegawai Istana, Confucius mengajar calon abdi negeri bagaimana caranya menjalankan pemerintahan. Sistem pengajarannya ini mendobrak sistem pendidikan yang bermentalitas budak. Bila setiap orang hanya diajar menjadi prajurit, dan hamba, Confucius menciptakan manusia yang mampu menjadi pemimpin atau manusia-manusia unggul. Bagi Congfucius “Para manusia unggul bertarung dengan kata-kata, bukan dengan perbuatan”.( Paul Strathern: 11) Tak ada tempat di sekolah Confucius bagi orang yang tidak pandai.

Dalam perspektif Confucius, pendidikan yang ideal itu mengandung ajaran moral. Tujuan pendidikan moral adalah agar para muridnya dapat berperilaku secara benar, sebab bagi Confucius, bila murid-muridnya ingin menjadi pejabat yang mengatur rakyat, maka mereka harus lebih dulu belajar mengatur diri sendiri. Sebab inti pengajaran menurutnya adalah kebajikan, artinya sesama manusia harusnya saling mencintai. Tugas setiap manusia adalah membuat dirinya menjadi lebih baik, untuk menjadi semanusiawi mungkin, dan untuk menjadi menajadi manusia yang lebih baik.

Unsur utama dalam pengajaran Confucius disimbolkan dalam karakter Cina, jen. Karakter ini adalah suatu gabungan dari kemurahan hati, kemuliaan, dan cinta atas kemanusiaan. ada lima hal yang harus dijalankan agar bisa disebut jen yaitu: rasa hormat, toleransi, dapat dipercaya, ketekunan yang cerdas, dan kemurahan hati. Selain ajaran jen, Confucius juga menekankan dua hal yaitu, te (kemuliaan) dan ye (keadilan). dan dalam kehidupan sehari-hari Confucius menekankan perlunya li (kepantasan) dan sikap hormat terhadap ritus-ritus tradisional. Bila semua ajaran ini dapat dijalani dengan baik maka akan menghasilkan Chuntzu (manusia unggul) yang akan menjalani kehidupan yang harmonis dan mulia, terbebas dari kecemasan dan kepedihan.

Peradaban dan kemanusiaan
Tanpa adanya unsur kemanusiaan dalam kehidupan yang nan biadab, tentu tak akan pernah lahir peradaban umat manusia. Banjir darah dan kengerian yang terjadi di dalam peradaban Mesir dan Maya adalah dua contoh peradaban maju yang runtuh karena tak ada unsur kemanusiaan di sana. Sekuat apapun negara dan pemerintah bila mengabaikan sisi kemanusiaan dalam negerinya, mustahil negara tersebut akan bertahan lama. Hal ini disadari betul Confucius, karena itu perlu ada revolusi dalam peradaban manusia. Perubahan paradigma dari yang biadab ke paradigma yang beradab.

Manusia harus mengejar keutamaan tertinggi dalam hidupnya yaitu mengejar kebaikan demi kebaikan itu sendiri. Idealisme ini dapat dijalankan secara praktis dengan “menjinakkan diri sendiri” dan “Jangan melakukan sesuatu kepada orang lain, bila kamu tak menghendaki hal itu dilakukan terhadapmu”. Ajaran ini menekankan konsistensi dalam bersikap dan bertutur. Artinya manusia hendaknya menyadari dirinya secara real, apa kelebihan dan kekurangannya. Setelah itu, mereka akan menerima keadaan mereka sebagaimana adanya dan menjalankan tugas sebagaimana fungsinya. Keteladanan seperti ini adalah ciri khas manusia unggul. Sebab moralitas manusia unggul merupakan suatu keteladanan.

Yang paling utama dalam pencapaian Confucius adalah kemampuannya sebagai seorang pendidik. Tujuan utama sekolah yang didirikannya adalah untuk membentuk manusia-manusia yang siap menjadi abdi negara yang bisa menyebarkan gagasan-gagasa sosial dan politiknya. Keberhasilan dalam pendidikan bukanlah dimaksudkan bagi kepentingan individu, melainkan masyarakat secara keseluruhan. “Ia menggali dirinya sendiri sehingga menjadi mampu untuk memberikan kedamaian dan kebahagiaan bagi semua orang.” (Paul Strathern: 31) Inilah yang menjadi tujuan pendidikan yang bermoral, karena moralitas yang sesungguhnya semata-mata adalah keterlibatan di dalam masyarakat.

Bila saat ini, bangsa ini masih terpuruk dalam kebangkrutan moral dan kebobrokan mentalitas, ada baiknya sejenak kita belajar dari Confucius. Yang pertama-tama diubah bukanlah masyarakatnya, tapi paradigma berpikir para pejabat negeri ini. Khususnya dalam bidang pendidikan yang selama ini menekankan pengetahuan tapi tanpa moralitas. Ada kekhawatiran kelak bangsa ini akan melahirkan manusia-manusia unggul tapi tanpa moral yang baik dan bermentalitas bobrok.

Tidak ada komentar: