Sabtu, 22 November 2008

Mendaratkan Filsafat ke Bumi

By. Noverius Laoli

Jauh Sebelum Kristus lahir, telah berdiri sebuah negara Romawi kuno yang memiliki sistem pemerintahan nyaris sama dengan negara modern. Tersedia tempat berdebat, senat, dan alun-alun di sanahlah setiap orang bebas ber-ekspresi. Semacam sebuah negara impian. Hanya saja pemerintahan ini korup. Sama seperti di Indonesia. Para pejabat berlaku sesuka hatinya. Memeras rakyat dan belum puas dengan itu menjebloskan rakyatnya ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati, tanpa kehadiran si korban. Tindakan yang sangat tidak manusiawi. Tindakan itu dilakukan Verres Gubernur negeri Sisilia.

Di tengah situasi yang semrawut itu, muncul seorang tokoh legendaris dan konvensional Cicero. Seorang pemuda tampan, gagah perkasa, dan berbudi luhur. Dengan segera ia menjadi tokoh idaman. Memiliki otaknya yang cerdas, dan mahir dalam ilmu retorika. Masa mudanya dihabiskan dengan belajar filsafat Yunani kuno, ilmu Retorika (eloquentae) di Universitas Akademia yang didirikan nenek buyutnya filsafat, Plato. Setelah menamatkan pendidikannya, ia pergi dengan satu pesan dari gurunya Molon: “Pulanglah, anakku, dan taklukkan Roma”.

Untuk dapat menaklukan Roma, filsafat harus diaplikasikan. Artinya harus membumi, dengan membantu menyelesaikan segala persoalan masyarakat. Filsafat harus menjadi pelayan kepentingan rakyat. Hal itu mengingatkan dia pada Sokrates, filsuf ganjil itu. Yang pekerjaanya setiap hari hanya berdialog dan berdebat di pasar-pasar, sambil menjual kebenaran. Ternyata pengaruhnya begitu dasyat. Pemuda-pemuda tertarik dengan tawaran ini dan akhirnya mengubah zamannya, dari dunia mitos ke dunia yang logos. Meskipun filsuf malang ini harus membayar semua kebenaran itu dengan nyawanya. Tapi tidak apa, bagi Sokrates “Hidup tanpa filsafat tidak layak dijalani”. Lebih baik memilih mati daripada hidup tanpa berfilsafat.

Semangat hidup para ahli filsafat Yunani ini, telah mencetak seorang Cicero yang luar biasa brilian dan fasih berbicara. Saatnya filsafat harus mendarat. Sebab korupsi bagaikan “Ikan membusuk mulai dari kepada”, untuk menumpasnya, perlu pisau tajam dan kuat untuk memenggal kepala yang busuk itu yaitu dengan pisau bedah filsafat. Kesadaran ini dibangun Cicero ketika ia menyeret Verres di muka pengadilan. Dan menghujaninya dengan argumen-argumen yang mematikan. Membongkar borok yang telah penuh bau busuk itu, dan memperlihatkannya di hadapan publik.

Filsafat yang dia miliki dipakai untuk menggerakkan “Akal budi masyarakat” yang terbuka pada kebenaran. Dia membimbing pikiran mereka untuk mengetahui kebenaran. Tindakan ini bangaikan membangunkan singa yang sedang tidur. Verres yang korup itu-pun dijebloskan dalam penjarah, dan tamatlah riwayatnya.

Orator ulung ini yakin bahwa kekuatan ‘kata’ lebih tajam dari pedang bermata dua manapun. Keyakinan ini diceritakannya kepada saudaranya Brutus: “Kefasihan yang tidak menggugah tak kupandang sebagai kefasihan”. Dalam setiap perkataanya, selalu tersimpan kebijaksanaan, integritas dan keyakinan yang luar biasa pada apa yang dikatakanya. Dan tentu saja, kepiawaian berbicara itu karena didasarkan pada moralitas yang ditujukan demi kebaikan serta kesejahteraan bersama. Bonus dari kegigihannya itu adalah ia mendapatkan jabatan-jabatan bergensi termasuk sebagai Consul. Kemenangannya yang gilang-gemilang ini, harus diakhiri seperti para pendahulunya, mengorbankan nyawanya demi kebenaran.

Saat Cicero harus menyerahkan kepalanya untuk dipenggal. Ia pergi secara terhormat sebagai seorang kesatria. Namun Cicero tak pernah mati. Hingga hari ini Sang filsuf, negarawan dan politikus itu tetap hidup dan ikut menggerakkan roda sejarah peradaban umat manusia.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

tp, "pendaratan" filsafat itu sendiri bisa punya dua arti lho:
1. filsafat lebi responsif terhadap berbagai problem yg sedang dihadapi oleh kita atau oleh orang sekitar kita.
2. filsafat harus dipraktikkan hanya dgn bahasa sehari2 (ordinary language) kita (sehingga gampang diikuti oleh siapa aja)

gw sih prefer ke pilihan pertama aja. pilihan no.2 justru berbahaya.

;)

Noverius Laoli mengatakan...

gw setuju dengan lo, memang filsafat tugasnya harus responsif untuk mengatasi berbagai kemelut yang melanda kita