Senin, 09 November 2009

Indonesia Pascapancasila

Oleh : Noverius Laoli

Sebuah Negara yang sudah mulai terkotak-kotak dan menonjolkan kekuatan sendiri-sendiri, suku, agama, ras dan antargolongan, (SARA) tinggal menunggu waktu menuju kehancuran.

Betapa tidak bangsa ini sangat rentan terhadap perpecahan. Pada awal berdirinya para founding fathers dengan susah payah merumuskan dasar Negara yang multikultural ini dengan satu alasan, supaya bangsa yang dibangun di atas fondasi keanekaragaman ini tetap kuat dan tegar bersatu menghadapi terjangan zaman. Tapi kini percecokan demi percecokan mulai menggurita. KPK dan pihak kepolisian yang seharusnya saling mendukung dalam menegakkan keadilan, justru asyik saling menyerang dan mempertontonkan kekuatan masing-masing. Bahkan yang satu merendahkan yang lain, tampak pada slogan baru “cicak melawan buaya”.

Sebatas Permukaan

Permasalahan di antara dua lembaga penegak hukum ini semakin jauh dari esensi yang sesungguhnya. Mereka tidak lagi memperkarakan kebenaran, melainkan mempertunjukkan kekuatan dan kekuasaan. Polisi menahan dua pimpinan KPK Chandra dan Bibit tanpa bukti yang jelas. Dukungan masyarakat luas semakin gencar terhadap kedua pimpinan KPK yang dianggap menjadi korban ketidakadilan. Tapi sampai di manakah dukungan itu bila reaksi yang dilakukan pemerintah hanya sebatas formalitas semata.

Pancasila yang didengungkan Soekarno sebagai ideologi pemersatu bangsa mulai pupus dan mati suri. Tidak heran jika Pancasila dijadikan instrumen untuk melanggengkan kekuasaan sebagaimana pernah terjadi pada masa Orde Baru. Ketika memasuki zaman reformasi yang mengusung tema perubahan total dalam segala lini kehidupan, khususnya memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme justru menjadi ajang pertarungan perebutan kekuasaan dan semakin memamahbiaknya para koruptor baru secara terang-bederang.

Generasi pascaordebaru ini pun menganggap pancasila sebagai isu purba dan tidak menarik lagi. Ada tendensi zaman ini melahirkan generasi apatis dan apolitis. Mereka tidak peduli lagi terhadap berbagai penyakit yang didera bangsa ini. Semuanya asyik mengemas identitas diri dan kelompoknya sendiri-sendiri. Gerakan-gerakan heroisme yang pernah ada di masa lalu yang melambangkan persatuan, seperti sumpah pemuda hanyalah sekadar nostalgia belaka. Sesungguhnya generasi ini sudah mulai alpa terhadap semua itu. Peristiwa-peristiwa masa lalu dianggap tidak lebih dari sekedar tontonan dan sarana mempertontokan permukaan daripada esensi.

Gotong royong

Bagi Soekarno pancasila adalah “isi jiwa” bangsa Indonesia yang setelah berabad-abad terpendam bisu oleh Kebudayaan Barat. Pancasila digali dari budaya Indonesia prahindu-budha, sebelum budaya asli nusantara tercemar oleh agama-agama baru yang datang kemudian. Dan ternyata selama beradab-abad nenek moyang bangsa Indonesia telah terbiasa hidup bersama dan melestarikan budaya gotong royong.

Di dalam ke lima sila yang ada dalam pancasila mengandung unsur: ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kebangsaan, dan keadilan, bila diciutkan menjadi satu sila adalah gotong royong menurut Soekarno. Budaya gotong-royong ini jugalah yang telah menjadi fondasi berdirinya bangsa Indonesia. Ketika para pengagas bangsa ini menyadari pentingnya kesatuan untuk saling bahu membahu membangun sebuah bangsa di mana segala kepentingan pribadi dan kelompok ditampung.

Namun, kini idealisme pancasila sebagai pemersatu anak bangsa sudah mulai memudar, bersamaan dengan berkembangnya hasrat untuk menonjolkan bendera kelompok daripada kepentingan bersama. Di saat kita sudah mulai menonjolkan kepentingan pribadi dan kelompok, di saat itu pula bangsa ini pun siap menuju perpecahan.

Tidak ada komentar: